Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ngarang Biji

14 Desember 2017   20:57 Diperbarui: 14 Desember 2017   21:28 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini terinspirasi oleh status seorang teman di facebook.Ia adalah seorang guru di Jakarta. Jelang akhir semester, semua guru tentu wajib membuat Laporan Hasil Belajar (LHB) untuk disampaikan kepada orang tua. LHB merupakan cermin keberhasilan pembelajaran oleh guru dan pencapaian kompetensi oleh siswa.

Semestinya LHB disusun dan dilaporkan secara real alias sesuai kenyataan. Namun, guru mau tak mau harus ngaji alias ngarang biji alias nilai. Mengapa demikian?

Dalam pedoman penilaian, siswa dikatakan tuntas belajar (mastery learning) jika telah mampu mendapatkan nilai minimal batas bawah atau yang biasa disebut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Ada 3 syarat membuat KKM, yaitu intake siswa, kompleksitas, dan daya dukung.

Bisa dikatakan, mungkin tidak ada guru yang berani memberikan nilai di bawah KKM. Selain dianggap tak becus mengajar, guru tersebut dinilai menyulitkan masa depan anak-anak sehingga kerap dimusuhi rekan sejawat.

"Cuma kasih nilai bagus saja kok pelit. Emangnya nilai itu beli?" sindir teman-temannya. Tak kuat desakan mereka, akhirnya guru itu pun hanyut dalam kubangan NGAJI alias ngarang biji.

Tak bisa dipungkiri bahwa KKM merupakan alat menekan guru untuk belajar tipu-tipu nilai. Bagaimana mungkin siswa belum bisa baca-tulis, tetapi mampu meraih nilai KKM 75? Nilai darimana?

Karena itulah, di banyak forum, saya suarakan agar KKM dihapus. Biarkan guru memberikan nilai sesuai fakta di lapangan. Jika nilai siswa jelek, biarlah anak dan orang tuanya instropeksi bahwa mereka harus belajar lebih giat lagi. Jika anak memang layak mendapatkan nilai bagus, yakin 100% bahwa guru memberikan itu sesuai kemampuannya.

Sekolah dengan fasilitas terbatas, tetapi guru dipaksa memberikan nilai yang pantas. Anak-anak dengan kemampuan yang serba terbatas, tetapi diberikan nilai di atas pantas. Apakah itu justru kontraproduktif dengan tujuan pendidikan yang ingin menanamkan nilai-nilai kejujuran?

Mestinya semua diserahkan ke guru karena dialah orang yang benar-benar paham perkembangan muridnya....

Sumber Foto: Sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun