Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Plus Minus Sekolah Seharian

21 September 2016   20:29 Diperbarui: 21 September 2016   20:40 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Koran Joglosemar


Kedua, kesiapan Sumber Daya Manusia(SDM). Sebagaimana tercantum dalam UU Guru dan Dosen, bahwa guru profesional harus memiliki minimal 24 jam per minggu agar mendapatkan Tunjangan ProfesiGuru (TPG). Beban mengajar sebanyak itu menjadi indikator keefektivan guru mengajar, baik secara fisik maupun psikisnya. Jadi, makin banyak jam mengajarakan menjadi tidak efektif pembelajarannya. 


Jika guru harus mengurusi ekstrakurikuler di luar tugas pokok dan fungsinya (tupoksi), jelas kegiatan akan kontraproduktif. Selain faktor fisik dan psikis, faktor kepemilikan keterampilan guru pun jelas terbatas. Jika guru dipaksa agar mengajarkan keterampilan di luar keahliannya, guru bukanlah mesin yang bisa dimodifikasi sesuai keinginan si pemesan.


Ketiga, penentangan masyarakat. Di daerah-daerah tertentu, anak-anak mengikuti pendidikan nonformal, seperti menjadi santri Madrasah Diniyah (MD), Taman Pendidikan Al Quran (TPA), atau mengikuti kursus keterampilan. Jika anak-anak harus berada di sekolah hingga sore hari, puluhan ribu ruang kelas madrasah akan kosong melompong. 


Selain itu, anak-anak pun sering diminta membantu pekerjaan orang tuanya, baik itu di rumah, sawah, warung dan lain-lain. Orang tua tidak berniat untuk mengeksploitasi anak-anak, tetapi justru membentuk karakter agar menjadi anak yang rajin bekerja, tanggung jawab, dan menghargai keringat orang tuanya. Jika anak-anak tidak lagi boleh menjadi santri madrasah atau TPA dan membantu orang tua, masyarakat tentu akan bergejolak yang dapat berakibat terhadap kegagala ntujuan utama kebijakan FDS ini. 


Dengan mempertimbangkan plus-minus serta beragam potensi kegagalan di atas, pemerintah harus menyiapkan strategi yang win-win solution jauh-jauh hari. Efek domino kebijakan ini harus dipikirkan masak-masak sehingga tidak membingungkan masyarakat. Pemerintah harus berlaku adil dan berdiri di atas dua kaki (baca:kepentingan sekolah swasta dan negeri) agar bisa berlaku objektif. Jika infrastruktur dan sarana-prasana FDS belum terpenuhi, kiranya program ini perluditinjau lagi.

Catatan:
Artikel ini telah dimuat di Koran Joglosemar,20 September 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun