Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menata Ulang Pendidikan Kita

3 Mei 2016   19:25 Diperbarui: 3 Mei 2016   19:36 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koran Joglosemar (Senin, 2 Mei 2016)

Sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo, dunia pendidikan kita memasuki era baru, seperti ditundanya implementasi Kurikulum 2013 kecuali sekolah rintisan, lahirnya Direktorat Guru dan Tenaga Pendidikan (Dirjen GTK), diterapkannya Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dan lain-lain. Kebijakan itu merupakan sikap akomodatif pemerintah terhadap suara masyarakat yang sering menyoroti dunia pendidikan.

Sayangnya, beragam kebijakan itu belum terlalu signifikan berpengaruh positif. Pada Seminar Nasional Pendidikan di Gedung DPR (Selasa, 26/4), Indra Charisniadji, menyatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia memang masih sangat rendah yang disebabkan oleh rendahnya kualitas guru. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) menunjukkan bahwa hanya ada 192 guru dari 1,6 juta guru yang memperoleh nilai di atas 90. Bahkan, nilai rata-rata UKG hanya 56.

Lucunya, justru terjadi kesenjangan rasio yang sangat jauh antara jumlah guru dengan siswa. Indra menjelaskan bahwa jumlah guru di Indonesia ada 3 juta orang. Dari jumlah tersebut, terjadi peningkatan guru sebanyak 823 % sejak tahun 1999/2000. Namun, peningkatan jumlah peserta didik justru hanya 17 %. Berdasarkan perbandingan itu, muncullah pertanyaan, apakah kenaikan siswa yang hanya 17 persen memerlukan guru sebanyak itu?

Terhadap kritikan di atas, kita tidak boleh kebakaran jenggot. Tentu semua pihak tidak mau disalahkan karena merasa telah bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi). Oleh karena itu, kita tidak perlu mencari kesalahan orang lain, tetapi kita perlu memberikan pandangan solusi sehingga situasi di atas dapat segera diatasi.

Dunia pendidikan memang “dunia lain” karena hasilnya tidak dapat diketahui masyarakat dalam sekejap. Dunia pendidikan adalah dunia investasi yang tak kasat mata. Oleh karena itu, faktor ini harus dipahami dahulu sebelum menghakimi dunia pendidikan.

Pendidikan adalah upaya penyadaran perilaku yang mencakup aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik. Pendidikan afektif berbentuk upaya pengubahan perilaku perasaan sehingga perilakunya menjadi lebih baik. Pendidikan kognitif adalah upaya memberikan pengetahuan sehingga seseorang bias memahami sesuatu yang belum dipahami sebelumnya. Pendidikan psikomotorik adalah upaya memberikan keterampilan sehingga seseorang cakap mengerjakan sesuatu. Ketiga memerlukan waktu yang sangat lama dan guru yang mumpuni.

Mengurai Masalah

Masalah di atas tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Terlebih, saat ini, kita telah memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Dunia pendidikan menjadi salah satu segmen pasar yang tentu bias terpengaruh dampaknya karena guru-guru asing boleh bekerja atau mengajar di sini. Maka, lima alternatif solusi ini diharapkan bias membantunya.

Satu, lakukan perubahan undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri yang membelenggu kreativitas guru. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri perlu memperhatikan tugas utama guru, yaitu mendidik bukan hanya mengajar. Mendidik adalah memberikan contoh kepada peserta didik sehingga terjadi perubahan perilaku, sedangkan mengajar merupakan kegiatan pemindahan pengetahuan.

Agar bias mendidik peserta didik secara efektif, diperlukan pembatasan jumlah jam mengajar dan jumlah siswa. Namun, justru aturan-aturan itu memberikan batas minimal 24 jam mengajar per pekan dengan jumlah peserta didik minimal 20 orang. Bagaimanakah mungkin seorang guru dapat mendidik peserta didik yang berjumlah ratusan orang dalam rentang waktu yang sangat terbatas. Maka, justru kebanyakan guru beralih profesi dari pendidik menjadi sekadar pengajar.

Fakta ini terjadi massif di semua sekolah. Banyak guru kelimpungan mencari tambahan jam mengajar ke sekolah lain demi mempertahankan tunjangan profesinya. Karena hanya menjadi ‘guru sambungan’, mana mungkin guru tersebut dapat mendidik muridnya dengan baik. Belum lagi tugas mengoreksi pekerjaan siswa dari sekolah yang berbeda sehingga tentu sangat menyulitkan guru.

Dua, lakukan moratorium penerimaan mahasiswa keguruan untuk program studi non reguler. Pemerintah mestinya memiliki roadmap arah pendidikan nasional. Di mana-mana, perguruan tinggi beramai-ramai membuka program studi tanpa mempertimbangkan rasio kebutuhan guru nasional. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) lebih berorientasi sebagai pedagang daripada penyedia tenaga guru yang profersional.

Tengoklah program studi keguruan yang kini dibanjiri oleh calon mahasiswa, apapun jurusannya. Iming-iming tunjangan profesi telah mengalahkan daya tarik program studi yang dahulu favorit. Perguruan tinggi tentu beralasan untuk menyediakan guru yang professional. Namun, perguruan tinggi tidak memikirkan nasib alumninya. Di  manakah lulusannya itu akan mengajar sedangkan guru-guru sedang mengalami krisis peserta didik.

Seharusnya perguruan tinggi hanya mempertahankan program studi yang terdapat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Itu pun perlu dibatasi jumlah mahasiswanya agar sarjana pendidikan tidak makin membesar. Jika diperlukan, perguruan tinggi dilarang menambah program studi kecuali mampu menyediakan lapangan pekerjaan. Maka, alangkah baiknya jika perguruan tinggi membuat nota kesepakatan dengan mahasiswa.

Tiga,jangan jadikan guru sebagai operator. Pemerintah terlalu sering memberlakukan kebijakan yang memangkas jam tatap muka guru. Kebijakan data pokok pendidikan, e-PUPNS, PKG, dan PKB telah menjadi hantu bagi guru. Guru beramai-ramai berusaha menyelesaikan ‘tugas tambahan’ itu dengan meninggalkan peserta didik karena kebijakan itu berbentuk tugas online.

Sekali lagi perlu diketahui bahwa tugas guru tak hanya mengajar. Guru adalah profesi yang menuntut totalitas dalam bekerja di manapun dan kapan pun. Guru juga sering diberi tugas tambahan sebagai wakil kepala sekolah, kepala perpustakaan, kepala laboratorium, pembina ekstrakurikuler dan lain-lain. Oleh karena itu, guru sering membawa hasil pekerjaan peserta didik ke rumah untuk dikoreksi dan dinilai. Lalu, kapan guru dapat mengerjakan tugas-tugas mendadak dari pemerintah? Tidakkah pemerintah berempati kepada guru dengan sejibun tugasnya?

Empat, lakukan lelang terbuka pejabat pendidikan. Kepala sekolah, kepala dinas, kepala bidang, dan kepala seksi adalah jabatan strategis dunia pendidikan. Pejabatnya memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap bawahan. Oleh karena itu, hendaknya penempatan pejabat ini benar-benar dilakukan secara professional.

Sayangnya, jabatan-jabatan itu sering berbau politis. Kepala sekolah sering diisi oleh guru yang tidak berasal dari guru berprestasi. Bagaimana mungkin sekolah itu dapat meraih prestasi sedangkan pimpinan sekolahnya belum pernah meraih prestasi? Bukankah air mengalir ke bawah?

Pejabat pendidikan pun perlu diisi oleh tenaga-tenaga pendidikan yang benar-benar memahami dunia pendidikan. Dunia pendidikan harus dihindarkan dari keinginan balas budi pimpinan daerah karena pernah dibantu saat pemilihan kepala daerah. Untuk mendapatkan pejabat-pejabat yang qualified itu, perlu diadakan lelang jabatan secara terbuka dengan melibatkan pihak ketiga yang independen. Semua guru boleh mengikuti seleksi dan hasilnya diumumkan secara transparan.

Lima,budayakan membaca. Survey Central Connecticut State University in New Britainmenyebutkan bahwa minat baca Indonesia hanya 3 buku per tahun. Hasil ini tentu sangat mengecewakan, tetapi kita harus menerimanya. Di sekolah, rumah, atau tempat umum, kita sangat jarang menjumpai pembaca. Di sekolah, perpustakaan selalu sepi pengunjung. Di rumah, televisi hampir tak pernah mati. Di tempat umum, kebanyakan kita justru menyukai budaya konsumtif daripada membaca.

Dimulai dari kegiatan sederhana, kegemaran membaca harus terus dikampanyekan dengan beragam cara, seperi lomba merangkum buku, membuat resensi, atau menceritakan isinya. Kegemaran menulis dapat diawali dengan mengadakan lomba menulis karya fiksi dan nonfiksi. Semua kegiatan literasi itu harus diikuti guru dan siswa. Sayangnya, justru kebanyakan lomba ditujukan untuk siswa. Lalu, kapan guru bias menjadi figur literasi bagi siswanya?

Tahun 2016 merupakan tahun yang sangat krusial. Tahun ini dapat menjadi tahun kiamat bagi dunia pendidikan jika semua pihak tidak segera mengubah mind setdan bertindak. Karena itulah, tahun ini perlu dijadikan awalan untuk melakukan penataan ulang dunia pendidikan. Orang bijak berkata, better late than neveralias lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Dirgahayu Pendidikan Nasional…!!!

Oleh Johan Wahyudi

jwah1972@gmail.com

Guru SMP Negeri 2 Kalijambe, Sragen

Catatan:

Artikel ini telah dimuat Koran Joglosemar,2 Mei 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun