Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengembalikan Peran Ibu

25 April 2016   20:19 Diperbarui: 25 April 2016   20:34 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah adalah kepala keluarga sehingga tanggung jawab berada di pundaknya. Sebagai seorang pemimpin, ayah harus berusaha mencukupi kebutuhan keluarga, baik lahir maupun batin. Demi peran itulah, kadangkala ayah perlu bepergian jauh guna mencari nafkah. Demi peran itu pula, ayah rela meninggalkan keluarga yang dicintainya untuk kurun waktu tertentu.

Dalam keluarga, ibu adalah kepala rumah tangga. Situasi rumah sangat dipengaruhi oleh kemampuan ibu menatanya. Oleh karena itu, seorang ibu perlu memiliki jiwa seni, kesabaran, dan cerdas. Jiwa estetika diperlukan agar rumah dapat menjadi surga bagi penghuninya. Kesabaran diperlukan agar kedamaian bisa dinikmati. Seorang ibu harus cerdas karena menjadi sandaran beragam pertanyaan yang diajukan anak-anaknya.

Meskipun ayah dan ibu berbeda peran, keduanya memiliki kesamaan tujuan, yaitu mendidik buah hati. Di sinilah anak-anak akan mendapatkan pelajaran. Jika orang tuanya sudah menempatkan diri pada tugasnya, anak-anak tentu memperoleh keteladanan yang akhirnya membentuk karakternya. Keteladanan dari orang tua itu akan membekas dan mempengaruhi perilakunya sehari-hari, baik ketika berada di keluarga, komunitasnya, maupun di sekolahnya.

Mengintip Peran Kartini

Pada konteks pendidikan anak-anak, ibu tentu lebih dominan daripada ayah. Karena ayah harus bekerja ke luar rumah, ibu perlu mengimbangi situasi itu dengan berada di rumah agar anak-anak memiliki teman yang bisa diajak bermain. Ketika anak sedang belajar dan menemui kesulitan, ibu bisa berfungsi sebagai guru. Ketika anak sedang dirundung masalah, ibu dapat menjadi konselornya. Frekuensi pertemuan ini akan membentuk dominasi karakter anak. Cara ibu memberlakukan anak akan berbanding lurus dengan karakter yang akan dibentuk.

Sayangnya, justru kaum ibu lebih memilih menyibukkan diri ke luar rumah daripada mendidik anak-anak. Beberapa alasan digunakan kaum ibu, seperti membantu mencari nafkah, jenuh di rumah, dan alasan emansipasi. Faktor ekonomi sering dijadikan alasan utama seorang ibu untuk meninggalkan rumah. Alasan ini pula yang sering membuat kaum bapak mati kutu.

Bulan April identik diperingati sebagai Hari Kartini. Untuk menyikapi kondisi ini, kita perlu belajar kepada Raden Ajeng Kartini, tokoh emansipasi wanita yang selalu diperingati bangsa Indonesia setiap tanggal 21 April. Kartini bukanlah perempuan pesolek, pemalas, atau bodoh. Kartini adalah seorang istri dari Bupati Rembang yang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Meskipun menyandang gelar istri bangsawan, Kartini tidak menampilkan diri sebagai perempuan pesolek. Beliau menampilkan kepribadian nan sederhana seraya menjunjung tinggi adat Jawa.

Selain itu, Kartini merupakan perempuan yang teramat rajin. Beliau selalu berusaha menata rumah tangganya agar suami betah di rumah. Sebagai istri bangsawan, Kartini sebenarnya memiliki banyak pembantu untuk menata rumah dan mengurusi segala keperluannya. Namun, kita tidak akan menemukan sejarah kekisruhan keluarga Kartini.

Kartini pun menjadi seorang perempuan yang sangat cerdas. Meskipun terlahir dari keluarga bangsawan karena ayahnya adalah Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Kartini tetap tekun belajar di Europese Lagere School (ELS). Begitu menyaksikan kecerdasan istrinya, Kartini diizinkan suaminya untuk membangun sebuah sekolah wanita.

Kesempatan emas ini tak disia-siakannya. Keinginannya untuk mengangkat derajat kaum perempuan dilakukannya hingga akhir hayat. Kartini menghembuskan nafas terakhir pada usia yang masih sangat muda, yaitu 25 tahun. Empat hari setelah melahirkan anak satu-satunya, Soesalit Djojoadhiningrat, beliau jatuh sakit dan meninggal. Masa perjuangannya memang relatif pendek, tetapi jasanya dikenang sepanjang masa.

Sekarang, marilah kita berkaca dengan kehidupan kartini-kartini modern. Dari tahun ke tahun, mereka selalu memperingati Hari Kartini dengan menggelar lomba-lomba yang tidak berkaitan dengan nilai perjuangan kartini, seperti lomba memasak, merias, atau berlenggak-lenggok memperagakan busana minim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun