Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengurai Benang Kusut Honorer

18 Februari 2016   17:22 Diperbarui: 18 Februari 2016   17:38 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Win-win Solution

Berdasarkan kondisi di atas, ada tiga pilihan yang dapat digunakan pemerintah untuk menyelesaikan benang ruwet tenaga honorer. Pertama, adakan pengangkatan CPNS terbatas. Seperti isi kontrak politik di atas, Presiden Joko Widodo harus menepati janji dengan mengadakan rekrutmen CPNS secara berkeadilan, transparan, dan tanpa pungutan.

Pengangkatan CPNS dapat mengurangi dampak politis sekaligus dapat digunakan untuk tambal sulam PNS yang Memasuki Masa Pensiun (MMP). Jadi, jumlah PNS tetap sehingga anggaran gaji PNS dalam APBN juga tidak berubah. Rekrutmen CPNS harus dilakukan secara terbuka agar benar-benar diperoleh SDM PNS yang memiliki daya saing serta produktif. Selain itu, tenaga honorer perlu dibedakan dengan peserta tes CPNS umum dan tenaga honorer harus mendapatkan prioritas dengan diberikan tambahan poin berdasarkan masa kerjanya.

Kedua, tingkatkan kesejahteraan tenaga honorer. Seperti isi klausul kontrak politik di atas, tenaga honorer wajib diberikan penghasilan setara dengan UMR/UMP dan kesejahteraan lainnya. Upah tenaga honorer dapat dihitung berdasarkan beban kerja. Jadi, penghasilan setiap tenaga honorer bisa berbeda karena jumlah jam kerja dan produktivitasnya juga berbeda.

Pemerintah dapat mempertimbangkan pilihan ini untuk menghemat APBN. Dengan memberikan tambahan penghasilan berdasarkan UMR, setidak-tidaknya pemerintah sudah menepati janji dan terhindar dari jebakan politis. Selain itu, pemerintah juga dapat menekan tenaga honorer agar bekerja lebih giat dengan memberikan rambu-rambu sanksi hukum bagi tenaga honorer yang bermalasan.

Ketiga, ratakan persebaran PNS. Jika dihitung berdasarkan rasio, sebenarnya jumlah PNS sudah memenuhi kebutuhan. Sayangnya, persebaran PNS itu tidak merata. Kebanyakan PNS menumpuk di Jawa dan kota-kota besar. Pada kesempatan yang berbeda, sering kita baca kelangkaan PNS di daerah pedalaman dan pinggiran.

Atas kondisi itu, pemerintah perlu menawarkan pilihan kepada PNS agar bersedia ditempatkan ke daerah yang masih kekurangan PNS. Pemerintah dapat menggunakan payung hukum sumpah jabatan PNS, yaitu bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia. Jika PNS itu tidak bersedia dipindah, pemerintah dapat memberikan pilihan pensiun dini dan mengangkat tenaga honorer untuk ditempatkan di daerah yang membutuhkan tersebut.

Rabu, 27 Januari 2016, penulis selaku pegiat media, diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Negara Jakarta. Pada kesempatan itu, penulis menyampaikan pendapat bahwa jumlah PNS, khususnya guru, sudah melebihi kebutuhan. Kondisi ini terlihat dari rasio kebutuhan 24 jam mengajar per pekan. Di Jawa dan kota besar, guru sangat sulit untuk memenuhi kewajiban jumlah jam mengajar. Di luar Jawa, justru banyak sekolah negeri kekurangan guru.

Untuk mengatasi kekurangan PNS di luar Jawa, khususnya guru, pemerintah dapat mengangkat tenaga honorer menjadi CPNS asalkan bersedia ditempatkan di luar Jawa dengan perjanjian tidak mengajukan mutasi atau pindah tempat kerja selama sekian tahun. Kebijakan itu pun dapat diberlakukan untuk pengangkatan tenaga honorer non-guru menjadi CPNS. Maka, sedikit demi sedikit, benang kusut tenaga honorer dapat terurai. Tentu saja kebesaran jiwa tenaga honorer diperlukan dengan tidak menekan pemerintah sambil berteriak-teriak,”PNS adalah harga mati!”

Catatan:

Artikel ini telah dimuat Koran Joglosemar, Kamis, 18 Februari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun