[caption id="attachment_264683" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/ADmin (KOMPAS.com/M. Latief)"][/caption] Saya sering mendapat keluhan dari rekan-rekan guru. Rerata mereka mengeluhkan keterbatasan sarana dan prasarana sekolah. Menurut mereka, sekolahnya miskin peralatan sehingga pembelajaran di kelas pun tak bisa maksimal. Saya tak mengetahui posisi dan kondisi sebenarnya, benarkah sekolahnya memang terbatas dalam penyediaan sarana dan prasarana? Apakah lingkungan sekolahnya pun tak bisa digunakan untuk mendukung pembelajaran? Mungkin secuil pengalaman ini dapat digunakan untuk mengatasi problem di atas. Saat ini, saya menjadi guru bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Kalijambe Kabupaten Sragen. Sekolahku dapat dikatakan sekolah superpelosok karena jauh dari kota. Kota kecamatan berjarak sekitar 10 km sedangkan kota kabupaten berjarak sekitar 40 km. Tepatnya, sekolahku berada nun jauh di perbatasan Kabupaten Sragen -Kabupaten Boyolali di sebelah barat dan perbatasan Karanganyar di sebelah selatan. Bahkan, sekolahku berdiri tepat di tengah sawah sehingga sering disebut sekolah "mewah" alias mepet sawah. Sekolahku dikelilingi sawah dan hutan jati rakyat. Para siswa berasal dari keluarga yang tingkat ekonominya menengah ke bawah, bahkan dapat dikatakan bahwa anak didikku berasal dari keluarga miskin. Oleh karena itu, banyak orang tua mereka pergi merantau ke kota besar, seperti Jakarta. Praktis anak-anak itu hidup mandiri atau ikut saudaranya. Dapat dibayangkanlah keterbatasannya, baik terbatas ekonomi, pendidikan, dan perilakunya. Namanya saja anak kampung, pastilah mereka sering bertingkah yang aneh-aneh karena ingin mendapat perhatian alias caper (baca: cari perhatian). Menghadapi keterbatasan yang demikian, saya mulai berpikir untuk memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai media pembelajaran. Kebetulan, saya pernah menjadi guru SMA Negeri 1 Tangen Kabupaten Sragen sebelum pindah ke SMP Negeri 2 Kalijambe ini, tepatnya tahun 2004. SMA Negeri 1 Tangen pun memiliki kondisi alam yang hampir sama, yakni keterbatasan sosial, ekonomi, dan pendidikan. Berawal dari pengalaman itulah, saya berusaha menerapkannya kembali di sekolahku ini.
[caption id="attachment_264681" align="aligncenter" width="608" caption="Poster hasil anak didikku."]
[caption id="attachment_264658" align="aligncenter" width="591" caption="Karya anakku yang lain."]
[caption id="attachment_264657" align="aligncenter" width="640" caption="Saya bersama anak-anakku."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H