Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bolehkah Siswa Mengkritik Guru?

31 Maret 2015   18:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:43 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Oleh Johan Wahyudi

jwah1972@gmail.com

Beberapa waktu lalu, terjadi kasus saat beberapa siswa mengkritik guru melalui sosial  media. Siswa itu mengecam jenis hukuman yang diberikan guru kepada siswa. Sontak kritikan siswa itu menimbulkan masalah. Guru dan sekolah tidak menerima kritikan itu dan akhirnya menjatuhkan sanksi kepada murid. Atas pemberian sanksi itu, orang tua siswa tidak menerimanya. Akhirnya, kasus itu ter-blow up dan membesar hingga masuk ke ranah hokum.

Bagi netter, sosial media memang dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasi. Karena kemudahan yang dimiliki, banyak siswa juga menggunakan media ini untuk beragam kepentingan. Tidak hanya untuk menyampaikan eksistensi diri, tetapi juga menyampaikan beragam masalah yang dialaminya, baik masalah di pergaulan, keluarga, bahkan di sekolah. Karena kekurangpahaman penggunaan sosial  media, banyak siswa langsung menyampaikan kritikan kepada semua orang yang dianggapnya sebagai penghalang kebebasan. Di sinilah diperlukan kearifan guru.

Sebagai pendidik, guru perlu mengenalkan penggunaan sosial media kepada para siswa. Ada tiga etika yang perlu diketahui para siswa, yaitu kesantunan bahasa, pemilihan media, dan kesahihan informasi. Pertama, kesantunan bahasa. Guru perlu menyampaikan masalah kesantunan ini kepada para siswa. Mereka harus dididik bahwa cara yang salah akan berakibat hasil yang salah pula.

Sebuah kritikan tentu bertujuan baik. Namun, kritikan akan berubah menjadi masalah krusial jika kritikan itu tidak disampaikan secara santun. Terlebih, kritikan itu disampaikan melalui sosial  media yang semua orang tanpa batas dapat membacanya. Oleh karena itu, kritikan melalui sosial  media sebaiknya disampaikan dengan sindiran, analogi, atau berbentuk kisah fiksi.

Kedua, pemilihan media. Kritikan dapat disampaikan secara langsung dan tidak langsung. Kritikan langsung berarti kritikan itu disampaikan secara tatap muka sedangkan kritikan tidak langsung berarti kritikan itu disampaikan dengan media tertentu, seperti surat, sosial  media, atau gambar.

Jika disampaikan secara langsung, hendaknya kritikan itu disampaikan secara tertutup alias tidak di tempat umum. Kritikan di tempat umum dapat menjatuhkan harga diri meskipun isi kritikan belum tentu benar. Siswa dapat diarahkan agar kritikan itu disampaikan di ruang atau tempat tertentu. Bahkan, kritikan itu dapat disampaikan sambil bercanda. Jika disampaikan secara tidak langsung, siswa perlu dilatih agar memiliki kemampuan menyampaikan kritikan melalui tulisan. Kritikan itu dapat berbentuk surat dan dikirimkan melalui kotak saran di sekolah atau langsung kepada gurunya.

Ketiga, kesahihan informasi. Sering siswa menerima segala informasi secara mentah-mentah. Informasi yang didapat dari teman-temannya langsung direspon sebagai wujud solidaritas yang salah. Sikap itu harus dicegah. Guru perlu memberitahukan sanksi hokum yang akan ditanggung jika menyebarkan informasi yang salah, terlebih kritikan itu disampaikan melalui media.

Guru perlu memberikan pemahaman yang benar tentang arti pentingnya kesahihan informasi. Jika informasi itu diperoleh dari orang lain, kebenaran informasi itu harus dikonfirmasikan kepada sumbernya. Jika informasi itu dialami korban, hendaknya kritikan itu disampaikan secara berimbang dan transparan. Informasi itu harus disampaikan secara utuh sehingga perlu dijelaskan secara kronologis agar masyarakat mengetahui permasalahannya secara detail. Jika ketiganya sudah dipahami kedua pihak, siswa tak lagi mengkritik guru seenaknya.

Catatan: Artikel di atas sudah dimuat di Koran Solopos, 28 Maret 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun