Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kompasiana Mendewasakan Pikiran Jika Cerdas Menggunakan

2 Mei 2012   17:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:49 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1335977999786952899

[caption id="attachment_185824" align="aligncenter" width="640" caption="Indahnya persahabatan di Kompasiana (Foto: FB Dian Kelana)"][/caption]

Interaksi dunia maya memang mengasyikkan. Berjam-jam waktu tersita di sana. Selagi interaksi itu bernilai positif, mungkin kita tak perlu merisaukannya. Interaksi itu jelas akan memberikan kontribusi terhadap pengembangan diri jika pengguna berhasil mewujudkan dari hasil diskusinya. Namun, interaksi itu akan bernilai buruk jika kita salah menggunakan kesempatan itu.

Kompasiana merupakan salah satu media social yang memiliki intensitas dan mobilitas cukup tinggi. Menurut penuturan Mas Iskandar Zulkarnaen, Admin Kompasiana, sekitar 800 hingga 1200 tulisan ter-posting di Kompasiana setiap harinya. Jumlah itu kian bertambah jika diadakan lomba dan atau momen-momen tertentu. Jelas itu merupakan wujud nyata bahwa Kompasiana memiliki intensitas dan mobilitas yang teramat baik.

Namun, kompasianer, sebutan bagi pemilik akun di Kompasiana, kurang memerhatikan penggunaan media ini. Saya mengamati perilaku Kompasiana yang cenderung menggunakan Kompasiana sebagai media curhat dan atau curcol. Sebenarnya kebiasaan itu tidaklah bernilai salah. Namun, menurutku, kebiasaan itu kuranglah memberikan banyak manfaat.

Sekitar 80 ribu kompasianer berjibun menjadi pemilik akun media ini. Potensi itu semestinya dimanfaatkan kompasianer lainnya untuk melakukan interaksi positif agar bernilai positif. Delapan puluh ribu orang tentu memiliki delapan puluh ribu ide brilian pula. Meskipun kadang ide itu tidak dikeluarkan dalam bentuk tulisan opini atau reportase, perdebatan dan atau diskusi pun dapat dilakukan secara langsung. Dan di sinilah manfaat terbesar Kompasiana ini.

Semestinya kita dapat memanfaatkan peluang itu agar kita makin dewasa dalam berpikir. Ketika berpendapat dan atau menyampaikan ide, sewajarnya kita akan mendapatkan dua hal: setuju dan tidak setuju. Pernyataan setuju dapat berbentuk ungkapan pujian dan atau sanjungan atau mengiyakan pendapat. Dan pendapat itu justru menjadi niat awal kompasianer penulisnya.

Menurutku, justru pernyataan tidak setuju semestinya diharapkan oleh penulis. Mengapa? Karena penulis akan mendapatkan beragam masukan gratis melalui diskusi panjang. Memang kadang kita akan mendapatkan beragam pendapat dengan bahasa yang berbeda-beda pula. Kadang pernyatan penolakan itu disampaikan secara santun. Namun, sering pula pendapat itu disampaikan secara kasar.

Kasar dan santun tentu bernilai positif. Kitalah semestinya yang harus berpikir dewasa. Tak usahlah kita berharap dengan komentar yang selalu bernilai santun. Menurutku, cukup aturan Tata Tertib Kompasiana menjadi kendali atas semua perdebatan itu. Tata tertib itu tentu sudah disusun berdasarkan pikiran dewasa dan mendewasakan semua pihak.

Hingga saat ini, saya masih sering mendapat kiriman pesan melalui inbox. Beragam pesan itu berisi ajakan, penilaian, sekadar info tulisan, permintaan informasi atau alamat, dan atau undangan menghadiri kegiatan. Tentu saya perlu berterima kasih karena mendapat kiriman berharga itu. Namun, kadang saya menyayangkan sikap sebagian pengirim pesan itu. Sang pengirim mengajakku untuk melakukan penghakiman terhadap sesama kompasianer. Dan saya teramat membenci ajakan itu.

Sejelek dan atau seburuk apapun seorang kompasianer, tentu ia tetap memiliki sisi kelebihan dan atau keunggulan. Tuhan tidaklah bodoh sehingga tentu Tuhan sudah memberikan sisi baik pada sisi buruk sang makhluk. Jika kita hanya berpikir picik tentang sisi buruknya, tentu kita akan dibutakan terhadap kelebihan yang dimilikinya. Menurutku, itu tentu akan menjadi kerugian terbesar baginya.

Pada kesempatan ini, saya mengajak diri dan semua pihak untuk berlapang dada. Marilah kita belajar menghargai perbedaan pendapat di Kompasiana. Marilah kita menciptakan suasana teduh sehingga dapat membuat kerasan bagi semua penghuninya. Jika rumah ini sehat, tentu semua penghuni pun akan disehatkan. Jika satu penghuni sakit, tentunya kita pun perlu merasakan sakitnya. Bukankah kita bersaudara?

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun