Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jangan Berharap Pujian, Kawan!

28 April 2012   20:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:59 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_184868" align="aligncenter" width="610" caption="Keindahan mutiara ini berasal sebuah simpanan di dasar laut yang dibalut oleh perut kerang."][/caption]

Sebuah ungkapan yang berisi sindiran pernah tersampaikan: ada uang abang disayang, tiada uang abang ditendang. Ungkapan itu dapat dimaknai bahwa orang cenderung menghendaki keuntungan dari sebuah persahabatan. Orang tersebut berusaha mendapatkan manfaat secara langsung ketika menjalin sebuah pertalian persahabatan. Maka, ia pun berusaha mendapatkan keuntungan itu dengan beragam cara. Ketika ia mendapatkan keinginannya, ia pun memberikan sanjung puji tiada henti karena niatannya terkabulkan.

Namun, sungguhlah teramat buruk perilakunya jika seseorang hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari sebuah persahabatan. Sebenarnya keuntungan itu akan didapatkan jika kita mau belajar secara bersungguh-sungguh. Sebuah makna hidup justru sering tersembunyi dari keterbukaan komunikasi. Pujian dan sanjungan justru akan mengerdilkan semangat hidup. Atas kondisi kejiwaan inilah, Nabi Muhammad SAW pernah berujar, “Taburkan pasir ke muka orang yang memujimu.

Semua orang tentu pernah mengalami kesulitan-kesulitan hidup. Tidak pernah ada orang yang memiliki pengalaman hidup yang selalu linear. Jalan berliku, menanjak, dan menurun adalah sebuah romantika perjalanan nan indah. Cobalah kita sesekali pergi ke Puncak. Mengapa Puncak begitu terkenal seantero Indonesia? Mengapa Tawangmangu begitu memesona banyak orang? Dan mengapa Puncak Bromo begitu menggoda para pengunjung? Tak lain adalah jalanan nan berliku untuk menuju puncak keindahan.

Dari kondisi itulah, kita bisa memaknai hidup dan kehidupan. Jika masih berusia muda, tentulah kita mesti belajar kepada para orang tua. Mungkin kita lebih pandai secara akademis, tetapi kita mesti mengakui kebodohan jika dibandingkan dengan pengalaman. Dan pengalaman adalah bukti nyata sebuah nilai hidup karena tidak mungkin pelaku akan membohongi pengalaman hidupnya.

Namun, rerata kita sudah berlaku overprotective dan juga memiliki resistence cukup tinggi untuk belajar. Kita terlalu membatasi keinginan untuk belajar dari dan kepada orang lain. Seakan diri kita sudah menjadi pribadi yang lebih baik. Demi keinginan itu, kita memagari prinsip hidup dengan pagar tembok nan tinggi menjulang karena takut pencuri akan daaing. Sungguh alangkah bodohnya jika kita berlaku seperti itu.

Sikap resisten alias kebal kritik hanya dimiliki oleh para pecundang. Kritik dianggap sebagai racun yang harus dinetralkan agar tidak merusak tubuhnya. Sesungguhnya kritik adalah sebuah nilai hidup yang tiada terukur nilainya karena itu merupakan cermin atas pribadi. Kritik adalah sebuah sanjungan untuk menjadi lebih baik sehingga kritik haruslah dimaknai sebagai sebuah bukti cinta kita kepada sahabat.

Maka, janganlah kita mudah mengambil simpulan atas sesuatu yang tampak. Tengoklah bumi yang kita injak. Apakah kita dapat melihat potensi tambang emas dan atau minyak di permukaan? Semua terlihat tersamar karena kita memang hanya berpikir dangkal sedangkal permukaan yang dapat dilihat. Emas tersimpan dalam sebuah bongkahan batu yang mesti dihancurkan untuk selanjutnya difilter sehingga semua residu dapat dipisahkan. Maka, wajarlah satu gram emas lebih berharga daripada satu truk batu!

Nilai sebuah kehidupan pun dapat dianalogikan seperti itu. Dalamnya laut mudahlah diukur dan begitu dalamnya hati tiadalah terukur. Hendaknyalah kita tidak mudah menilai seseorang hanya berdasarkan analisis dangkal karena tendensi pribadi yang sengaja kita munculkan. Ambillah sebutir telur meskipun itu keluar dari pantat ayam dan buanglah jauh-jauh kotoran meskipun keluar dari mulut seorang ulama sekalipun. Janganlah kita memandang pribadi seseorang hanya berlandaskan penglihatan luaran karena mutiara itu tersimpan nun jauh di dasar laut yang masih tersimpan pula di perut kerang.

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Sumber gambar: Sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun