[caption id="attachment_173744" align="aligncenter" width="425" caption="Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh/Admin (KOMPAS.com/Dhoni Setiawan)"][/caption] Kamus Bahasa Indonesia mendefinisikan tajuk rencana sebagai karangan pokok dalam surat kabar, majalah, dan sebagainya. Tajuk, tajuk rencana, atau editorial adalah opini berisi pendapat dan sikap resmi suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual, fenomenal, atau kontroversial yang berkembang di masyarakat. Opini yang ditulis pihak redaksi diasumsikan mewakili redaksi sekaligus mencerminkan pendapat dan sikap resmi media yang bersangkutan. Jadi, tajuk atau tajuk rencana dapat diartikan jiwa atau ruh atas sebuah media. Kompas cetak Sabtu (25 Februari 2012) sangat menarik untuk dibaca. Media cetak nasional itu menampilkan dua macam pendapatnya. Satu di antaranya benar-benar terasa sebagai tamparan bagi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud). Apa pasal? Tajuk rencana Kompas Sabtu itu mengupas masalah kesenjangan alokasi dana bagi Sekolah Standar Nasional (SSN) dengan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Saat ini, RSBI berjumlah sekitar 1.800 sekolah se-Indonesia sedangkan SSN berjumlah jutaan. Tentunya RSBI itu dimulai dari jenjang SD, SMP, dan SMA/ SMK dan sedemikian halnya dengan SSN. Namun, tunjangan atau bantuan yang diberikan kepada dua jenis sekolah itu bak langit dengan bumi. Sangat teramat jauh berbeda. Hanya untuk membantu 2000 RSBI, Kemendikbud menggelontorkan ratusan miliar setiap tahunnya. Dengan selisih yang teramat sedikit, Kemendikbud memberikan bantuan kepada SSN. Saat ini, Kemendikbud memberikan bantuan dana sekitar Rp 500 juta kepada RSBI setiap tahunnya. Namun, Kemendikbud memberikan bantuan hanya Rp 100 juta kepada setiap SSN. Bantuan itu berangsur-angsur dikurangi sehingga sekolah dapat mencari biaya sendiri. Lalu, muncullan pertanyaan, apa sih keistimewaan yang dimiliki RSBI? Menurutku, RSBI justru menciptakan kastanisasi dunia pendidikan. Banyak hal menjadi mendukung pendapat ini. Pertama, RSBI memiliki standar kurikulum yang sama. Apa bedanya RSBI dengan SSN? Kurikulumnya sama dan gurunya pun sama. Justru rerata murid-murid RSBI jarang dan teramat sedikit menjadi juara lomba. Saya berkiblat dengan dunia pendidikan di daerahku. Nyaris RSBI tidak bersuara dan bertiarap di balik gendungnya nan megah. Kedua, mengapa murid RSBI juga harus mengikuti Ujian Nasional? Semestinya murid-murid RSBI tidak mengikuti Ujian Nasional yang mengacu kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Seharusnya murid-murid RSBI menggunakan kurikulum internasional (jika tersedia). Bahkan, beberapa tahun lalu, murid sebuah RSBI tingkat SMA di kota besar justru tidak lulus Ujian Nasional. Ketiga, mengapa RSBI boleh menarik dana dari orang tua murid sedangkan Kemendikbud melarang SSN menarik biaya dari orang tua murid? Justru seharusnya Kemendikbud memberikan kewenangan kepada SSN untuk meminta tambahan dana kepada orang tua murid karena Kemendikbud memberikan bantuan dana yang lebih sedikit daripada RSBI. Bagaimana mungkin SSN akan mampu menaikkan ratingÂ-nya jika dihambat untuk meningkatkan mutunya? Keempat, RSBI hanya didominasi oleh murid-murid yang berasal dari keluarga kaya. Undang-Undang Dasar 1945 sudah menetapkan sebuah peraturan yang mengharuskan pemerintah untuk memberikan pendidikan yang layak kepada seluruh warga negara. Lalu, mengapa justru pemerintah menciptakan kelas-kelas pendidikan? Segala fasilitas tersedia di RSBI tetapi menjadi barang langka di SSN. Wajar saja jika Kompas menyindir SSN seperti kandang ayam. Kelima, berapa jumlah guru RSBI yang bergelar di atas S1? Peraturan RSBI menjelaskan bahwa 20% guru RSBI harus mengenyam pendidikan serendah-rendahnya S2. Boro-boro S2, begitu banyak guru RSBI meraih gelar dari perguruan tinggi yang tidak bonafid. Banyak guru RSBI berasal dari Program Kelanjutan Studi (PKS). Maka, saya belum pernah mendengar atau membaca berita tentang kreativitas dan prestasi guru RSBI. Jelas guru berkualitas dapat memberikan pendidikan berkualitas. Jika gurunya tidak atau kurang berkualitas, jelas itu akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan nasional jika guru-guru itu menjadi pengajar di RSBI. Saya pernah menjadi guru di sekolah bertaraf internasional. Saya sering menjadi pemateri kegiatan ilmiah yang diadakan sekolah bertaraf internasional. Namun, hingga kini, saya belum merasakan aura semangat dan motivasi guru dan murid di sana. Hingga kini, saya belum melihat semangat tinggi yang dimiliki mereka kecuali tingginya biaya pendidikan di lembaga itu. Kepada Kompas, saya menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya. Sebagaimana slogannya: Amanat Hati Nurani Rakyat, sungguh tajuk Sabtu itu mampu menjadi wakil suara hati nuraniku sebagai rakyat. Namun, tulisan tajuk itu mungkin menjadi tamparan keras bagi Mendikbud. Mudah-mudahan tamparan itu dapat menyadarkan Mendikbud bahwa program RSBI memang hanya menjadi Rintisan Sekolah Bertarif Internasional. Tak lebih! Teriring salam, Johan Wahyudi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H