Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengapa Murid Suka Bersolek?

24 Februari 2012   02:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:15 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ungkapan kuno guru kencing berdiri dan murid kencing berlari kadang dibantah kebenarannya. Mereka tidak mau disalahkan karena anak memiliki perkembangan kejiwaan yang berbeda-beda. Mereka berusaha membela diri karena menganggap bahwa kebiasaan anak mungkin berasal dari lingkungan atau pergaulan anak tersebut. Terlebih zaman sedemikian cepat berubah. Dan perubahan itu mudah ditiru anak karena mereka mendapatkannya pun begitu mudah: lingkungan terdekat, televisi, internet, dan media cetak.

Namun, agaknya anggapan itu perlu diluruskan. Saya justru sering menjumpai perilaku oknum-oknum bu guru yang sangat jauh dari kategori sebagai pendidik selama di sekolah. Tak lain adalah kebiasaannya bersolek.

Bagi bu guru, kebiasaan bersolek seakan menjadi sebuah kewajiban sehingga hampir setiap saat bu guru itu selalu berusaha menjaga penampilan. Ketika baru saja tiba di sekolahnya, bu guru itu langsung menuju cermin yang terpajang di dinding ruang guru. Lalu, sambil berlenggak-lenggok, bu guru itu berusaha memastikan dirinya agar terlihat cantik.

Perhatian bu guru itu dilakukan dengan memerhatikan baju seragamnya. Bu guru itu berusaha mengenakan baju itu serasi-rasinya. Lalu, bu guru itu pun mulai memerhatikan kerudungnya. Beragam asesoris kerudung dikenakan agar terlihat mencolok mata. Selanjutnya, bu guru itu memerhatikan lipstick, kadang pewarna kuku, atribut kepegawaian dan lain-lain. Jika sudah terlihat cantik dan menarik, bu guru itu pun bergegas menuju kelas. Karena sepatunya berbunyi, sontak suara sepatu itu cukup menarik perhatian murid-murid di kelas dan mengganggu konsentrasi.

Tidak hanya itu. Ketika waktu istirahat tiba, lagi-lagi bu guru itu berkaca sepulang dari kelas. Bu guru itu ingin memastikan penampilan tetap kece alias cantik. Sambil berlenggak-lenggok, bu guru itu berusaha menata penampilan dari ujung kaki hingga ujung kepala. Jika ditemukan kekurangan alias ketidakcocokan atau kerusakan, bu guru itu segera berbenah atau membenahinya. Semua diperiksa agar penampilannya tetap terjaga.

Kadang saya merasa risih dengan penampilan bu guru itu. Menurutku, saya menganggap bahwa penampilan bu guru itu sudah kelewatan. Saya berpendapat bahwa penampilan guru hendaknya cukup mewakili kepribadian yang sederhana dalam bungkusan keilmuan. Jika penampilan menjadi pusat perhatiannya, saya justru mengkhawatirkan konsentrasi anak didik. Mengapa demikian?

Suatu ketika, saya sempat berdiskusi dengan banyak murid di kelas. Saya tergelitik untuk menanyai beberapa murid perempuan. Saya melihat perubahan yang sedemikian mencolok pada diri si murid tersebut: bajunya ketat, ikat pinggangnya tidak pantas, rambut diberi pewarna, sepatu atau tali sepatu atau kaos kaki tidak sesuai aturan, menggunakan lipstick, kuku diberi pewarna, dan kadang berjalan dengan dibuat-buat. Lalu, saya pun sempat mengajak anak itu untuk berbincang. Pada kesempatan itulah, saya mendengar jawaban si anak: meniru gurunya.

Ketika pembelajaran sedang berlangsung, saya sering menemukan anak didikku yang sedang asyik berkaca. Mereka - para murid perempuan itu - berusaha membenahi penampilannya. Muka dilihat, jerawat dielus-elus, dan kadang baju atau seragam dibetulkan. Berulang-ulang murid perempuan itu mencuri perhatianku. Saya kadang menegurnya secara halus melalui sindiran. Dan murid itu pun terjaga sekaligus kembali memerhatikan pelajaran.

Menurutku, para murid perlu diberi contoh tentang penampilan yang sopan di sekolah. Sebenarnya setiap sekolah sudah memiliki peraturan atau tatatertib. Di dalamnya cukup jelas tertulis aturan berpakaian atau seragam. Namun, sepertinya peraturan itu hanya menjadi pelengkap administrasi sekolah. Teramat jarang peraturan itu ditegakkan guru karena sang guru justru termasuk pelanggar peraturan. Jika guru dan murid sudah melanggar aturan, maka terciptalah sekolah yang penuh dengan lomba berpenampilan. Keilmuan dan kesantunan seakan tidak lagi menjadi pusat perhatian. Benar-benar pendidikan kita tidak berjalan salah arah.

Teriring salam,

Johan Wahyudi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun