Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Profesor kok Ngomong Kotor

8 Februari 2012   02:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:56 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1328668862703254149

Hati-hati dengan mulutmu karena itu adalah cerminan perilakumu. Berhati-hatilah dengan gelar yang kamu sandang karena itu adalah amanat alias kepercayaan. Jika gelar itu tidak menjadi pagar untuk berhat-hati, tentunya namamu akan dihancurkan oleh mulutmu. Tak usah berbangga diri meskipun Anda adalah seorang guru besar.

Jika Anda menyaksikan acara Indonesia Lawyer Club (ILC, kalau tidak salah) di TV One semalam, tentunya Anda dapat menebak pengantar tulisanku di atas. Paragraf pengantar itu bertujuan mengarahkan pembaca agar terbuka wawasan sebelumnya. Itu disebabkan keterperangahanku atas kepongahan atau kesombongan sang guru besar. Sungguh saya benar-benar “kagum” alias geleng-geleng kepala dengan sikap sang guru besar.

Waktu itu, sang guru besar diberi kesempatan oleh Mas Karni Ilyas untuk berbicara. Beliau dianggap sebagai pengamat politik karena gelarnya mungkin juga berasal dari ranah itu. Saya sering melihat sang guru besar itu karena TV One memang sering mengundangnya pada beberapa kegiatan. Begitu diberi kesempatan berbicara, sang guru besar pun langsung nerocos dengan penuh emosi yang kian meledak-ledak.

Memang semalam ILC mengambil topik masalah korupsi yang mendera sebuah partai besar negeri ini. Oleh karena itu, sang guru besar berusaha memberikan penjelasan tentang bahayanya korupsi. Agar penjelasannya dapat diterima khayalak, sang guru besar pun menggunakan penjelasan analogi. Namun, sungguh analogi alias pembandingan itu, menurutku, teramat keterlaluan. Bagaimana kisahnya?

Waktu itu, sang guru besar sedang menjelaskan sebuah situasi yang terjadi di Eropa tempo dulu. Konon ada seorang pejabat tinggi negara yang berperilaku tidak baik sehingga pejabat itu dibenci rakyatnya. Kekuasaan manusia memang terbatas karena umur manusia memang terbatas. Maka, berakhirlah jabatan sang penguasa.

Selanjutnya, sang guru besar berkisah. Suatu ketika, beliau mendengar atau mengetahui tentang penamaan seekor anjing. Ternyata, binatang yang suka menggonggong itu diberi nama dengan nama persis sang penguasa itu, sebut saja Kadnezar. Di sinilah sang guru besar menggunakan analoginya. Sang guru besar berkata dengan makna yang saya tangkap, “Bisa jadi penguasa sekarang ini akan dianjing-anjingkan jika tidak lagi menjadi penguasa.”

Hatiku langsung kaget. Mataku terbelalak usai mendengar ucapan sang guru besar. Sungguh keterlaluan sang guru besar. Bagaimana mungkin seorang guru besar menggunakan ungkapan yang teramat kasar untuk sekadar membandingkan anjing dengan penguasa dzalim? Benar-benar tak masuk di akalku.

Saya pun sempat menyaksikan raut muka para tamu TV One. Sepintas mereka juga teramat terkejut dengan ucapan sang guru besar itu. Mereka terlihat teramat kaget dengan ucapan sang guru besar yang memang meledak-ledak. Dan muka memerah ditunjukkan oleh beragam pejabat dari partai dimaksud yang berkesempatan hadir. Mereka terlihat terpaku begitu mendengar ucapan pedas dan juga teramat kasar itu.

Saya adalah pengajar dan pembelajar. Saya mengajarkan keilmuan kepada siswa dan mahasiswaku. Dengan beragam cara, saya menyampaikan kebaikan. Dan saya berusaha meminimalkan usaha melalui sekadar bicara. Namun, saya terus berusaha mengajarkan kebaikan itu melalui karya nyata. Dengan segenap kemampuan yang ada, saya selalu berusaha menampilkan setiap prestasi atau contoh yang diperoleh orang lain dan diri.

Saya pun menjadi seorang pembelajar. Saya sedang berusaha menyelesaikan pendidikanku di kampus. Pada beragam kesempatan, saya dididik oleh sekitar 12 profesor alias guru besar. Namun, saya belum pernah mendengar ucapan guru besar sekasar guru besar semalam. Entah, mengapa guru besar di TV One itu berani berkata sedemikian kasar sehingga membelalakkan mata dan memerahkan telinga? Jika saja TV One berkenan menyiarkan ulang acara itu. Yuk, kita jaga lisan kita agar kita menjadi terjaga.

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Sumber gambar: Sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun