[caption id="attachment_167811" align="aligncenter" width="640" caption="Selamat berjuang Ananda semoga Engkau dapat lulus dan meraih cita."][/caption]
Ujian Nasional (UN) tahun ini teramat berbeda jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, terlebih zaman dahulu. Ketika duduk di bangku SD, SMP, dan SMA, saya sudah “menikmati” ujian nasional. Pada waktu itu, ujian nasional disebut Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Karena bersifat evaluasi, tentunya semua siswa akan dinyatakan melalui kriteria evaluasi dimaksud. Maka, setiap peserta Ebtanas AKAN mendapatkan Daftar Nilai Ebtanas Murni (DANEM). Karena telah menempuh pendidikan selama waktu yang ditentukan, setiap peserta pun diberikan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB). Berbekal DANEM dan STTB itulah, setiap peserta menggunakan keduanya sebagai modal untuk melanjutkan pendidikannya.
Kini, sistem evaluasi pendidikan diubah menjadi Ujian Nasional. UN memiliki banyak kriteria. Dan satu kriteria yang paling menakutkan adalah pernyataan LULUS dan TIDAK LULUS. Pernyatan itu seakan menjadi hantu menakutkan bagi banyak orang, khususnya siswa. Mengapa sedemikian menakutkan? Baiklah, saya akan menjelaskan kerumitan UN tahun ini agar para sahabat dapat memikirkannya.
Pertama, seorang siswa dinyatakan lulus jika mendapatkan rerata Mapel UN lebih dari atau sama dengan 5,5. Itu berarti bahwa setiap peserta dapat digugurkan kelulusannya meskipun beberapa mata pelajaran sudah mendapatkan nilai baik. Sebagai contoh, Andi mengikuti UN SMP. Ada empat mapel yang diujikan, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan IPA.
Andi akan dinyatakan lulus jika (1) semua mapel mendapatkan nilai lebih dari atau sama dengan 5,5; (2) Andi tidak mendapatkan nilai di bawah 4 lebih dari satu mapel dengan rerata nilai lebih dari atau sama dengan 5,5; (3) Andi tidak melakukan tindakan yang berakibat dibatalkannya hasil UN.
Sistem itu jelas sangat merugikan siswa. Mengapa? Siswa dapat dinyatakan tidak lulus karena nilai satu mapel di bawah 4 meskipun tiga mapel lainnya sangat baik. Sebagai contoh, Andi mendapatkan nilai 8 untuk bahasa Indonesia, 9 untuk bahasa Inggris, 7 untuk Matematika, tetapi hanya mendapatkan nilai 3,5 untuk IPA. Itu berarti bahwa satu mapel IPA dapat menggugurkan hasil tiga mapel (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika) lainnya.
Kedua, posisi tempat duduk peserta UN. Pemerintah sebenarnya berusaha menanamkan kejujuran kepada sekolah dan siswa. Namun, menurutku, pemerintah terlalu gegabah menerapkan kebijakan itu. Pemerintah memilih metode yang menurutku teramat ceroboh. Mengapa demikian? Perhatikan penjelasan berikut ini.
Soal UN tahun ini dibuat menjadi lima variasi, yaitu kode A, B, C, D, dan E. Setiap ruang ujian hanya dihuni maksimal 20 peserta. Itu berarti bahwa setiap ruang hanya memiliki 4 siswa yang memiliki kode soal yang sama. Jelas itu adalah kondisi terburuk bagi siswa bodoh karena ketidaklulusan sudah terbayang jelas di depan mata. Mengapa itu dapat terjadi?
Jika keempat siswa itu pandai, jelas itu tidak masalah karena keempatnya dapat mengerjakan soal UN. Jika dua siswa pintar dan dua lainnya bodoh, itu dapat disiasati dengan saling membantu siswa lainnya. Namun, sungguh tragis dan teramat menyedihkan jika keempat siswa itu termasuk siswa yang bodoh semua. Kepada siapa lagi keempat siswa yang bodoh itu bertanya? Inilah yang harus dipikirkan karena rerata siswa belum memiliki kompetensi sebanding dengan materi ujian.
Ketiga, ditiadakannya ujian ulangan. UN tahun ini meniadakan ujian ulangan bagi siswa yang dinyatakan tidak lulus. Oleh karena itu, jelas momen UN adalah harga mati dan harus lulus. Bagi siswa yang berhalangan hadir karena sakit atau sebab lain, mereka masih dibolehkan mengikuti ujian susulan. Namun, mereka harus gigit jari dan menangis jika juga dinyatakan tidak lulus. Mereka dipaksa mengikuti pelajaran tahun berikutnya atau mengikuti Ujian Nasional Program Kesetaraan (UNPK) meskipun hanya satu mapel yang mendapatkan nilai di bawah 4.
Berdasarkan analisis komprehensif di atas, saya berkesimpulan bahwa akan terjadi lonjakan ketidaklulusan UN yang mencapai lebih dari 50% jika UN dilaksanakan secara jujur. Pemerintah harus bertanggung jawab dengan akibat buruk itu. Pemerintah harus bersiap dengan program dan atau kebijakan manusiawi sehingga peserta UN yang tidak lulus tidak mengalami depresi kejiwaan. Kasihan benar nasib mereka yang sekadar mencari selembar kertas bernama ijazah!
Jujur saja, saya tidak habis pikir dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tentang Ujian Nasional. Konon, Kemendikbud dihuni oleh para pakar pendidikan terbaik bangsa ini. Tentunya para pejabat itu pernah menjadi murid. Bisa jadi pejabat itu pernah menjadi murid nakal dengan nilai pas-pasan. Karena sudah menjadi pejabat, mereka pun menggembar-gemborkan wajib belajar 9 tahun dan saat ini sedang diusahakan wajib belajar 12 tahun. Kini, bisa jadi cita-cita anak bangsa diputus begitu saja di tengah jalan oleh para pejabat yang melupakan masa nakal ketika masih menjadi murid bengal. Menurutku, kebijakan UN tahun ini sungguh teramat kontraproduktif!
Teriring salam,
Sumber gambar: Sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H