Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ini [Bukan] Guru Kita: CTL

19 Desember 2011   03:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:04 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendekatan Contextual Teaching-Learning (CTL) sedang ramai dibicarakan oleh beberapa praktisi pendidikan. Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru untuk mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata murid. Selanjutnya, guru mendorong murid agar membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pembelajaran kontekstual memiliki tujuh komponen, yakni konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).

Pendekatan CTLmemunyai tiga kelebihan. Pertama, guru menempatkan murid sebagai pembelajar. Itu berarti bahwa guru harus menempatkan murid sebagai subjek pembelajar. Belajar adalah kebutuhan murid dan guru hanya berposisi sebagai fasilitator dan motivator. Guru hanya berusaha membangun pengalaman murid agar dapat digunakan untuk mencapai kompetensinya. Perlu diketahui bahwa hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar karena belajar bukanlah sekadar menghafal melainkan sebuah kegiatan mengonstruksi pengetahuan melalui pengalaman.

Kedua, guru menempatkan murid sebagai makhluk yang berakal. Itu berarti bahwa murid dapat diajak untuk berpikir. Oleh karena itu, guru harus berusaha melibatkan proses mental murid secara maksimal agar tujuan dapat dicapai. Guru tidak hanya menuntut murid agar sekadar mendengar, mencatat, atau menghafal pelajaran. Namun, guru harus berusaha membudayakan aktivitas murid agar terjadi proses berfikir.

Ketiga, pembelajaran bersifat dialogis. Pembelajaran kontekstual berusaha mengubah pembelajaran tersentral guru (teacher learning centered)menjadi pembelajaran tersentral murid (student learning centered). Pembelajaran yang dibangun dalam suasana dialogis dan proses tanya jawab antara guru dengan murid akan menghidupkan suasana dan tercipta situasi yang kondusif. Usaha itu perlu terus dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir murid. Pada akhirnya, murid dapat memiliki kemampuan untuk berfikir. Pada kondisi itulah, esensi sebuah pembelajaranbermakna tercapai. Tak lain adalah murid mendapatkan pengalaman nyata.

Kondisi di atas dapat dicapai jika guru memunyai kompetensi yang ideal. Guru harus berusaha membangun kompetensinya seraya tekun belajar. Selanjutnya, guru berusaha untuk mengadakan inovasi-inovasi pembelajaran. Salah satu kegiatan yang dapat digunakan guru adalah penerapan pendekatan CTL di atas. Namun, ternyata sungguh disesalkan. Banyak oknum guru memelesetkan CTL sebagai Catat Tinggal Lungguh alias murid mencatat dan guru duduk di kelas.

Saya sering melihat dan menyaksikan fenomena guru CTL di atas. Oknum guru itu hanya duduk-duduk di kelas sedangkan muridnya sibuk mencatat pelajaran. Bahkan, sering pula guru itu malah pergi meninggalkan muridnya yang sedang mencatat. Guru sering beralasan bahwa beliau memiliki banyak tugas lain (bendahara sekolah, BOS, rapat), makan di kantin sekolah, membaca koran, atau mungkin merokok. Maka, lihatlah kondisi kelas!

Para murid ramai, gaduh, dan sering bermain di kelas. Para murid itu berteriak-teriak sehingga mengganggu aktivitas pembelajaran di kelas sebelahnya. Kadang guru piket berusaha menenangkannya, tetapi itu jarang terjadi. Guru piket sering hanya duduk-duduk di perpustakaan atau tempat lain sambil sesekali membaca koran atau menonton televisi. Saya sering menyebut kondisi itu bak kondisi pasar malam: gaduh!

Memerhatikan kondisi di atas, tentunya kita perlu berpikir untuk mengubah keadaan. Apakah kita akan menyalahkan guru? Apakah kita akan menyalahkan sistem pembelajaran? Apakah kita akan menyalahkan stakeholder? Jelaslah bahwa saling menyalahkan adalah kebiasaan yang kurang baik. Saya lebih berharap agar kita memberikan solusi sehingga kondisi itu cepat berubah. Jujur saja, saya sering pusing dalam kesendirian jika menyaksikan kondisi di atas. Kapankah kondisi itu akan berubah?

Guru CTL jelaslah baik jika CTL dimaknai sebagai pendekatan pembelajaran dan pengajaran kontekstual. Guru mahir membelajarkan suatu kompetensi kepada muridnya dengan membangun pengalaman pribadi murid. Pengajaran pun berlangsung secara dialogis sehingga tercipta suasana tanya-jawab antara guru dengan murid. Jelas situasi tersebut teramat menyenangkan dan sangatlah bermanfaat bagi guru dan murid.

Namun, guru CTL yang diartikan sebagai guru yang gemar duduk di kelas dan menyuruh para muridnya agar mencatat pelajaran merupakan guru yang kurang baik. Jelas guru itu melakukan pembelajaran searah dengan pendekatan arogan. Guru memosisikan dirinya sebagai sosok yang layak dituruti semua perintahnya meskipun itu jelas termasuk perilaku kurang baik. Para murid disuruh mencatat tetapi gurunya justru bersikap enak-enakan. Jika itu dilakukan oleh oknum guru, sebaiknya sang oknum segera berganti profesi. Entah profesi apa yang paling tepat baginya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun