Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Busyet, 4,7 juta Anak Terancam Putus Sekolah!

27 Juli 2011   00:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:21 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diperkirakan 4,7 juta siswa sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) yang tergolong miskin terancam putus sekolah atau droup out (DO). Alasan ekonomilah yang menyulitkan sebagaian anak-anak Indonesia untuk meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran Ditjen Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional, Nono Adya Supriatno, mengatakan, mahalnya biaya menjadi alasan utama ketidakberdayaan orang tua dari keluarga miskin untuk menyekolahkan anak-anaknya (Republika, 26 Juli 2011).

Marah dan emosi pun meletup. Bagaimana saya tidak geram membaca berita itu. Begitu seringnya digembar-gemborkan bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas karena telah ditetapkan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, berita itu dapat menjadi bukti bahwa pemerintah belum melaksanakan undang-undang dasar yang seharusnya ditaati.

Jujur dan sejujur-jujurnya, saya tidak habis berpikir mengapa pemerintah masih berusaha berkelit atas semua permasalahan tentang dunia pendidikan. Pemerintah berusaha berkilah bahwa Dana BOS sudah dapat mencukupi kebutuhan operasional sekolah sehingga pemerintah melarang sekolah untuk menarik biaya tambahan. Apa lacur, justru sekolah berlomba-lomba menaikkan biaya pendidikan.

Di mana-mana tersiar kabar bahwa sekolah masih menarik pungutan biaya tambahan yang jumlahnya sungguh mencengangkan: jutaan rupiah. Dari mana rakyat kecil akan mendapatkan uang sebanyak itu? Boro-boro mencari uang jutaan rupiah. Sekadar uang untuk membeli sembako yang harganya terus meroket, rakyat sudah sekarat alias kelimpungan setengah hidup!

Bukankah kondisi itu dapat menjadi bukti bahwa pemerintah mulai tidak mempunyai legitimasi di mata masyarakat? Pemerintah selalu berjanji dan berjanji akan memberikan layanan pendidikan gratis. Pemerintah sering berjanji akan memberikan sanksi kepada sekolah-sekolah nakal. Mana buktinya bahwa pemerintah bersikap tegas?

Ingat, hanya SD dan SMP. Bukankah kedua jenjang pendidikan itu teramat rendah karena termasuk pendidikan dasar? Pendidikan SD dan SMP dapat dianalogikan sebagai makanan pokok. Kalau mereka tidak dapat makan nasi, haruskah mereka akan makan nasi aking alias nasi basi yang dikeringkan? Itu berarti bahwa kita jangan bermimpi dapat membangun negeri jika para generasi tidak mendapatkan makanan pokok alias pendidikan dasar....!!!

***

Pagi ini, saya berangkat kerja seperti biasanya. Karena ananda libur sekolah, saya berangkat ke tempat kerja melalui jalur yang tidak biasanya. Saya mengambil jalur yang melewati persawahan. Mohon dimaklumi karena saya memang bertempat tinggal di tengah kampung nun jauh dari perkotaan.

Tiba-tiba, saya terkejut oleh sebuah pemandangan. Saya melihat dua anak yang sedang pergi ke sawah. Kedua anak itu terlihat membawa bagor atau kantong tepung dengan sebilah sabit di tangannya. Seorang anak di antaranya menuntun dua ekor kambing. Jika diperhatikan, mereka masih berusia anak SD. Mungkin yang tuaan berkisar anak SMP kelas 1.

Keterkejutanku disebabkan satu hal: ini jam sekolah atau waktu masuk sekolah. Mengapa kedua anak itu malahan pergi ke sawah? Mengapa kedua anak itu tidak pergi ke sekolah? Saya tidak berhenti untuk bertanya. Namun, saya hanya dapat membatin: (mungkin) benarlah kiranya berita yang kemarin sempat saya baca!

Selamat Pagi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun