Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Berkarakter

8 November 2010   02:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:47 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_74366" align="alignleft" width="150" caption="Jika guru sudah berkarakter, karakter siswa pun mudah dibentuk."][/caption] Akhir-akhir ini wacana pendidikan karakter kembali muncul. Kebutuhan pendidikan karakter dianggap dapat menjadi solusi alternatif terhadap degradasi moral para pelajar. Gayung pun bersambut. Menteri Pendidikan Nasional pun merencanakan sebuah program baru. Pendidikan karakter akan dimasukkan sebagai kurikulum sekolah. Sebuah rencana strategis untuk investasi etika jangka panjang. Namun, benarkah rencana itu berpengaruh positif?

Kita tidak perlu apriori dengan rencana itu. Rencana yang baik tentu (diharapkan) menghasilkan mutu yang baik. Namun, analogi cermin dapat digunakan sebagai pola pikir kita. Moral para pelajar rusak tidak semata disebabkan kesalahannya. Ibarat bau kentut, pasti ada yang kentut.

Kerusakan moral pelajar kita disebabkan tiga faktor. Ketiga faktor itu adalah ketiadaan figur atau teladan, keseimbangan materi pelajaran, dan pengaruh lingkungan. Dari ketiga ketiadaan itu, faktor ketiadaan figur adalah faktor utama. Dunia pendidikan telah kehilangan teladan. Guru yang seharusnya digugu lan ditiru telah berubah perilaku. Banyak kasus menunjukkan bahwa moral mereka justru dapat dikategorikan tidak layak sebagai guru. Begitu banyak guru terlibat perselingkuhan, narkoba, dan plagiasi. Tentu masih segar di ingatan kita kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan guru. Guru juga ada yang terlibat dalam jaringan dan pengguna narkoba. Terakhir, kasus plagisasi karya ilmiah. Lebih dari 1300 guru di Riau, 38 guru di Klaten, Bantul, Kulonprogo, dan Bandung. Itu yang ter-cover media. Tentu masih banyak lagi yang belum terendus.

Kasus-kasus di atas tidak boleh dianggap lumrah atau sepele. Kasus di atas adalah kasus besar dan berpengaruh kuat. Guru telah kehilangan karakternya sebagai pendidik. Guru justru telah mengajarkan cara mencuri. Perilaku untuk cepat sukses atau naik pangkat secara instan begitu kuat tertanam dalam diri guru. Lalu, keinginan tak wajar itu pun menulari siswanya. Maka, wajarlah perilaku itu tumbuh subur dalam diri peserta didik. Ketika ulangan atau UN/UAS berlangsung, para siswa pun beramai-ramai mencuri jawaban. Mereka pun menempuh beragam cara, seperti membeli, menyontek, dan bekerja sama.

Di tengah isu sertifikasi guru, penilaian portofolio justru lebih menekankan penilaian materi daripada karakter. Komponen penilaian portofolio justru didominasi kegiatan dan jenis produk hasil kerja guru. Tidak ada satupun komponen penilaian portofolio yang secara jelas mencantumkan penilaian karakter. Yang ada hanya penilaian atasan (kepala sekolah dan pengawas). Selebihnya, semua berbentuk materi.

Dampak buruk metode penilaian portofolio sertifikasi guru yang demikian telah terasa. Hasil penelitian LPMP Jawa Tengah 2009 menunjukkan bahwa tunjangan profesi guru tidak berdampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Ini dapat dimaklumi. Hampir 100% tunjangan profesi yang diterimanya, uang itu justru digunakan untuk membeli barang konsumtif. Hampir tidak ada guru yang memanfaatkan uang itu untuk membeli laptop, melanjutkan pendidikan, dan melaksanakan riset atau penelitian tindakan kelas. Bahkan, guru-guru bersertifikasi justru turun semangat pengabdiannya. Menurutnya, usai mendapat sertifikat pendidik usai juga perjuangan.

Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan kita. Pemerintah telah menggelontorkan 20% APBN untuk pendidikan dan itu (dapat saja) sia-sia. Dalam berbagai kesempatan mengisi seminar dan CSR, saya selalu menghimbau pemerintah agar memudahkan akses kepada guru untuk mendapatkan beasiswa pendidikan. Menurut pemikiran saya, pendidikan kita dapat berkembang, maju, dan unggul jika para guru sudah berkualitas. Saya terinspirasi slogan begawan pendidikan kita: ing ngarso sung tulodho. Jika guru sudah berkualitas, tentu itu akan berdampak pada siswanya. Ibarat celupan jari ke air, riak itu akan berkembang menuju pinggir. Artinya, kekuatan gelombang sangat berpengaruh terhadap tersampainya gelombang ke pinggir. Jika sudah berpendidikan tinggi dan unggul, guru akan memiliki kharisma keilmuan dan itu akan berpengaruh kuat terhadap siswa serta lingkungannya.

Karena itu, kondisi di atas harus menjadi titik balik pemikiran kita selama ini. Gurulah yang harus dididik terlebih dahulu agar berkarakter kuat dan cerdas. Guru adalah subjek perubahan (agent of change). Manakala karakter guru sudah terbentuk, karakter siswa pun dapat dibentuk. Yang perlu direnungkan saat ini adalah format karakter guru itu. Seperti apakah karakter guru ideal sebenarnya? Itulah PR (Pekerjaan Rumah) kita.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun