Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menanti Kematian

29 Juli 2010   00:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:31 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_207964" align="alignleft" width="150" caption="Sumber: http://weeyarh.wordpress.com/?attachment_id=367"][/caption]

Usai ditinggal meninggal sahabatku beberapa waktu lalu, akhir-akhir ini saya sering merenung: Apa tujuan hidupku? Untuk apa aku hidup? Ke mana setelah aku hidup? Ketiga pertanyaan itu terus bergelayut di pikiran, hingga pagi ini.

Saya sudah mencoba untuk berpikir keras. Saya menjalani ibadah menurut agamaku dengan sebaik-baiknya. Saya menunaikan salat, berpuasa nisyfu sya’ban, puasa senin-kamis, salat dhuha, menafkahi keluarga dan yatim-miskin dan seabreg bentuk ibadah lainnya. Saya juga sudah berniat ibadah haji pada 2012 atau 2013. Namun, pikiranku tetap tak bisa tenang.

Saya terngiang dan selalu teringat ketika memasukkan jenazah teman karibku ke tempat peristirahatannya. Usai meletakkan jenazah, saya bangkit dan berdiri. Sejenak saya memandangi jenazah yang tak bergerak lagi. Tak ada seorang pun dan apapun yang menemaninya! Sungguh kasihan sahabat karibku itu.

Saya tidak merasakan degub jantung sedemikian kuat ketika memandikan dan menyalatkannya. Namun, keadaan berubah drastis ketika prosesi penguburan itu dilaksanakan. Saya benar-benar terhenyak. Bagaimanakah jika aku yang mati? Aku pun pasti diberlakukan sama dengannya.

Lalu, saya pun pulang. Di rumah, saya belum begitu bergairah. Pikiranku selalu berkecamuk untuk mencari jawab: kemana setelah mati?

Kita lahir, beranjak remaja, dewasa, menikah, punya anak, menimang cucu, lalu mati. Jika semua itu lengkap, tentu kita mungkin akan mengatakan: betapa bahagianya. Namun, kita perlu ingat bahwa kematian tidak pernah memandang tempat, waktu, dan cara.

Sahabatku itu meninggal secara spontan. Sore masih terlihat begitu bugar. Usai maghrib, dia bermaksud membeli makan malam bersama anak keduanya. Namun, naas betul nasibnya. Ketika berniat untuk menghindar dari menabrak kakek, dia justru terjungkal dengan posisi kepala jatuh terlebih dahulu. Innalillah….!

Semua ditinggal meskipun ia masih merasakan cintanya. Semua usahanya ditinggal meskipun selalu memberikan keuntungan baginya. Semua yang dicintai pasti berpisah meskipun mereka masih menyayanginya.

Pikir punya pikir, hidup ini hanyalah menanti kematian. Begitulah kesimpulanku. Kita ini hanya menunggu dan menunggu saat giliran kita tiba. Ketika malaikat Izrail datang, kita tak mungkin bisa menawarnya meskipun diiming-imingi semua kekayaan yang kita miliki. Malaikat itu begitu taat kepada Tuhannya. Ketika Tuhan sudah memerintahkannya agar mencabut nyawa kita, pastilah malaikat itu melaksanakannya. Lalu, kapan malaikat itu akan menghampiri kita?

Ya Allah, saya berdoa kepada-Mu, mudahkanlah kematianku. Masukkanlah aku ke surga-Mu. Himpunlah aku bersama hamba-hamba-Mu yang saleh. Agar semua itu terlaksana, ampunilah semua dosaku. Engkau Maha Pengampun dan Pemberi Ampunan. Sedemikian aku takut kepada malaikat-Mu. Jika waktunya tiba, sampaikanlah agar malaikat-Mu tersenyum simpul untuk menuntunku berucap: laa ilaaha illallaah. Amin! (www.gurumenulisbuku.blogspot.com)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun