Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tunjangan Profesi Bukan Harga Mati

1 Februari 2015   16:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:00 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Oleh Johan Wahyudi

Ada ungkapan bahwa zona nyaman akan membuat jiwa malas. Zoba nyaman akan menumpulkan kreativitas. Akhirnya, zona nyaman itu akan menciptakan situasi kontraproduktif. Di sinilah akan diperoleh kerugian yang sangat besar, yaitu kerugian materi dan kompetensi. Sesuatu yang tidak produktif tetapi dihargai tinggi, tetapi sesuatu yang produktif justru tidak dihargai. Ungkapan ini sangat dirasakan guru ketika menghadapi kebijakan baru terkait dengan perubahan penerapan kurikulum di sekolahnya. Guru senior sering dianakemaskan sehingga diberi 24 jam mengajar penuh, sedangkan guru yunior atau muda dianaktirikan sehingga diminta mengalah.

Seiring terjadinya penundaan penerapan Kurikulum 2013 mulai semester genap tahun pelajaran saat ini kecuali di sekolah rintisan, banyak guru berhadapan dengan masalah lama, yaitu kekurangan jam mengajar. Ketika Kurikulum 2013 diberlakukan, semua guru tenang karena 24 jumlah jam mengajar terpenuhi sebagai syarat untuk mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (TPG). Begitu terjadi pergantian menteri, terjadi pulalah kebijakan, yaitu penerapan Kurikulum 2006 di semua sekolah non-rintisan. Tentu kondisi ini akan mengacaukan distribusi jumlah jam mengajar guru. Ada guru yang gembira karena jumlah mengajarnya bertambah atau dikembalikan, tetapi tak sedikit guru sedih karena kekurangan jam mengajar.

Menghadapi situasi demikian, hendaknya guru tak meninggalkan jiwa profesionalismenya sebagai pendidik. Sebagai tenaga profesional, guru harus menjaga pikiran positif sehingga bisa menunaikan tanpa ada perasaan tersingkir. TPG adalah penghasilan tambahan sehingga tidak boleh dijadikan alasan untuk bermalasan bekerja. Guru tentu sudah memiliki penghasilan tetap. Berkenaan dengan itu, tiga saran ini perlu dijadikan pertimbangan agar guru bisa tetap mendapatkan penghasilan tambahan.

Pertama, munculkan jiwa kreatif. Kondisi yang tidak mengenakkan justru sering melahirkan jiwa kreatif. Kreativitas dapat dimunculkan seraya merefleksi talenta atau bakatnya. Karena hanya memiliki beberapa jam mengajar, guru dapat memanfaatkan waktu luangnya di sekolah dengan mengeksplorasi talentanya tersebut. Di sekolah, guru dapat mencari informasi seluas-luasnya melalui buku dan internet karena kadang kegiatan itu tak sempat dilakukannya di rumah.

Kedua, lahirkan aktivitas produktif. Usai mendapatkan beragam informasi, guru dapat berusaha menerapkannya. Jika memiliki kemampuan mengajar atau menggunakan metode pembelajaran kreatif, guru dapat menjadi pengajar di bimbingan belajar. Jika guru memiliki kemampuan menulis, guru dapat mengeksplorasi kemampuannya itu untuk makin produktif. Jika memiliki kemampuan berolahraga, guru dapat menjadi instruktur atau pelatih cabang olahraga. Bahkan, guru bisa belajar bertani secara hidroponik karena memiliki jam mengajar yang lebih sedikit.

Ketiga, bangun komunitas. Guru yang senasib tentu banyak. Mereka tentu memiliki kelebihan dan atau keunggulan masing-masing. Pada kondisi demikian, hendaknya sesama guru membangun komunitas sehingga komunikasi dapat terjalin. Kegiatan ini akan berdampak sangat positif karena memiliki perasaan yang sama. Dari kondisi demikian, terlahirlah semangat solidaritas dan kerja sama yang sangat tinggi pula. Akhirnya, kelebihan atau keunggulan masing-masing bisa dikolaborasikan sehingga menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi dan karier yang lebih baik.

Catatan: Artikel ini telah dimuat di Koran Solopos, Sabtu, 31 Januari 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun