ilustrasi (sumber:kompas.com)
Adalah menarik menyimak tulisan Indria dibawah topik "Indonesia, Selangkah Menuju Negara Bangkrut?" dalam Kompasiana edisi 2 Juli 2015. Dikatakan menarik karena dalam artikel ini mengangkat deretan nama-nama negara di dunia yang terancam bangkrut. Indonesia termasuk dalam deretan negara itu sehingga negara kita berada dalam zona merah karena total hutang selama ini semenjak kemerdekaan hingga kini memiliki total hutang luar negeri sekitar Rp. 3.000 trilyun. Bahkan dikatakan pula Presiden Jokowi sampai tidak bisa tidur nyenyak akibat memikirkan persoalan ini serta adanya analisis perombakan kabinet kerja di bidang ekonomi telah di rumuskan akan segera di laksanakan.
Saya melihat topik artikel ini berupa pertanyaan dan itu memang menjadi pertanyaan masyarakat Indonesia. Saya pikir masih begitu banyak masyarakat kita yang belum begitu paham dengan jelas tentang persoalan hutang luar negeri ini. Apa itu hutang luar negeri, bagaimana awalnya terjadi sehingga pemerintah memutuskan kebijakan ekonomi dengan melaksanakan hutang luar negeri? Bagaimana dampak dari hutang luar negeri saat ini terhadap situasi dan perkembangan pembangunan ekonomi dan fiskal di Indonesia?
Mungkin disinilah para pakar ekonomi makro, ekonomi mikro, ekonomi fiskal(moneter) dan ekonomi pembangunan dapat berperan memberikan penjelasan kepada publik atau masyarakat khususnya menyangkut hutang luar negeri ini.
Sekedar informasi tentang ini mungkin dapat disimak ulasan Rayla Prajnariswari B K dalam tulisannya berjudul:"Jebakan Utang Luar Negeri(Dampak Utang Luar Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia) di post 7 Mei 2014:
"Utang luar negeri (ULN) atau pinjaman luar negeri, adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Refleksi dari kisah sukses Marshall Plan pada tahun 1940, sukses secara empiris itu menjadi dasar bahwa pemindahan sumber daya dapat pula dilakukan dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang yang biasanya mengalami kekurangan modal untuk menggerakan mesin ekonominya (Rachbini, 1991:62). Dalam proses pembangunan ekonomi, hampir disemua negara berkembang mengalami persoalan dalam pembiayaan dan kemudian membutuhkan investasi dalam bentuk modal kapital dan modal manusia dalam jumlah yang tidak sedikit. Saat kondisi seperti inilah negara harus menempuh beberapa strategi untuk menutup anggaran. Jika dalam penghasilan negeri sudah tidak cukup untuk membiayai kekurangan tersebut, maka negara melirik sumber lain sebagai alternatifnya. Keterbatasan kapasitas fiskal yang dihadapi suatu negara menyebabkan negara tersebut membutuhkan bantuan dari negara lain, yakni berupa bantuan pinjaman atau Utang Luar Negeri (ULN) (Yustika 2009:130). ULN merupakan instrumen sementara bagi negara berkembang untuk memulai pembangunan disini. Dalam perkembangannya, kebutuhan akan utang luar negeri tidak hanya diartikan dalam ruang ekonomi saja, tetapi sudah mulai merambat ke dalam ruang politik. Kebijakan utang luar negeri dijadikan sebagai salah satu bargain power yang dimiliki oleh negara-negara kreditur (pada umumnya negara-negara maju) untuk melakukan ekspansi politik luar negeri berdasarkan self-interest-nya masing-masing terhadap negara-negara peminjam (biasanya negara-negara berkembang seperti indonesia).
Dampak ekonomi Utang luar negeri sendiri sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, karena dengan adanya utang pasti secara otomatis akan ketergantungan. Karena setiap negara yang utang ke luar negeri pastinya bertujuan untuk memperbaiki kondisi, pembangunan, dan pertumbuhan perekonomian agar semakin membaik. Namun, pada kenyataannya pertumbuhan perekonomian di Indonesia statis dan utang pun semakin menumpuk. Dari kebijakan indonesia untuk ULN inilah yang meskipun memiliki dampak positif namun juga menimbulkan dampak negatif yang diasumsikan penulis sebagai “Jebakan” untuk negara berkembang seperti di Indonesia".
Pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah memulai kebiasaan berutang bagi pemerintahan di Indonesia. Seluruh utang yang belum dilunasinya pun turut diwariskan, sesuai dengan salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada waktu itu disertai dengan pengalihan tanggung jawab segala utang pemerintah kolonial. Dilihat dari perspektif utang piutang, maka Republik Indonesia bukanlah negara baru, melainkan pelanjut dari pemerintahan sebelumnya. Tradisi pengalihan utang kepada pemerintahan berikutnya bertahan sampai saat ini, terlepas dari perpindahan kekuasaan itu berlangsung dengan cara apa pun. Pemerintahan era Soekarno mewariskan utang luar negeri (ULN) sekitar USD 2,1 miliar kepada pemerintahan Soeharto. Secara spektakuler, pemerintahan Soeharto membebani Habibie dengan warisan utang sebesar USD 60 miliar. Bahkan, pemerintahan Habibie mewariskan utang yang lebih besar, hanya dalam kurun waktu dua tahun. ULN memang “hanya” bertambah menjadi sebesar USD 75 miliar dolar. Namun, utang dalam negeri yang semula nihil menjadi USD 60 miliar (jika dikonversikan), sehingga utang pemerintah secara keseluruhan menjadi sekitar USD 135 miliar. Tentu tidak adil jika hanya melihat angka utang yang fantastis di era Habibie secara begitu saja. Sebagian masalahnya adalah karena akumulasi utang beserta akibat lanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto. Bisa dikatakan bahwa Pemerintahan Habibie harus menghadapi krisis moneter dan ekonomi, yang berasal dari era Soeharto. Sehingga terus berlanjut dalam periode kepemimpinan SBY. Menurut Seknas Fitra Uchok Sky Khadafi, hutang luar negeri Indonesia pada tahun 2010 atau era Presiden SBY sebesar Rp 1.677 triliun. Pada tahun anggaran 2011 utang luar negeri Indonesia sebesar Rp 1.803 triliun dan pada tahun 2012 utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 1.937 triliun. Deskripsi ULN tersebut merupakan Sumber ULN dari hubungan bilateral.
Untuk bangkit dari dampak ULN tersebut penulis juga menjabarkan solusi agar negara berkembang seperti indonesia dapat bangkit kembali dan keluar dari jebakan tersebut. Di bidang ekonomi,Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan SDA yang melimpah ruah,akan tetapi Indonesia masih saja kekurangan dalam hal apapun,sehingga masih banyak rakyat miskin di negara ini.Angka kemiskinan tiap tahun ke tahun mengalami kenaikan, hal ini dikarenakan harga bahan pokok yang kian meroket tanpa disertai kenaikan pemasukan masyarakat.Utang luar negeri Indonesia pun mencapai sekian ribu triliun sungguh angka yang fantastis. Oleh karena itu, jika ingin bangkit dari ketergantungan dari negara asing harus ada perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
Pertama, Seperti yang diamanatkan Soekarno yaitu “BERDIKARI” (berdiri dikaki Sendiri) dan menolak bentuk pinjaman luar negeri. Mungkin hal ini yang paling sulit karena akan menyebabkan krisis dan kemelaratan yang panjang. Namun jika pemerintah indonesia berani menolak pinjaman luar negeri dan terus mengkampanyekn kemandirian ekonomi sehingga rakyat akan tergugah dan terus berpacu untuk mengembangkan ekonomi mandiri, sehingga kita tidak perlu bergantung lagi dari pinjaman uang luar negeri karena siklus perputaran ekonomi lokal yang lancar.
Kedua, Reformasi agraria. Reforma Agraria atau secara legal formal disebut juga dengan Pembaruan Agraria adalah proses restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agrarian (khususnya tanah). Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanah merupakan komponen dasar dalam reforma agraria, maka pada dasarnya tanah yang ditetapkan sebagai objek reforma agraria adalah tanah-tanah negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagai objek reforma agrarian. Karenanya kegiatan penyediaan tanah merupakan langkah strategis bagi keberhasilan reforma agraria. Salah satu contoh sumber tanah objek reforma agrarian adalah tanah terlantar. Dengan reformasi agraria indonesia dapat meningkatkan hasil petani-petani lokal agar meningkatkan daya beli lokal masyarakat, yakni melalui pemberdayaan ekonomi pedesaan dan pemberian modal usaha kecil seluasnya. Dengan peningkatan daya beli masyarakat ini membuat barang-barang hasil buatan dalam negeri terjual habis tentu akan memberikan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Apalagi yang terjual dan laku terbeli itu yaitu produk hasil ekonomi pedesaaan ataupun dari petani dan usaha kecil, tentu akan membuat perkembangan yang signifikan bagi kemajuan usaha pedesaan dan usaha kecil sehingga mampu bersaing perusahaan besar milik swasta. Keuntungan lain dari peningkatan daya beli masyarakat yaitu perputaran uang akan lebih banyak terdapat di dalam negeri sehingga uang ini akan menambah pendapatan negara dengan pajak. Kemudian mengkampanyekan kebanggaan akan produksi dalam negeri, meningkatkan kemauan dan kemampuan ekspor produk unggulan dan membina jiwa kewirausahaan masyarakat. Hal yang memprihatinkan dengan televisi atau surat kabar di negeri ini yakni banyaknya iklan swasta produk luar negeri berkembang di dalam negeri, sadar atau tidak iklan-iklan ini mempengaruhi pergaulan masyarakat di negeri ini, Para remaja lebih suka makanan produk luar negeri daripada produk-produk dalam negeri, sehingga hasil jual lebih banyak keluar daripada ke dalam negeri.Padahal dari segi kandungan zat makanan tradisional inilah lebih banyak di banding produk luar negeri. Negeri ini kaya akan Sumber daya alam unggulan sehingga bila kita manfaatkan secara maksimal maka akan memberikan devisa negara, akhir-akhir ini negeri kita mampu dengan “swasembada pangan” mengapa kita tidak swasembada kehutanan, pertambangan atau seterusnya. Permasalahan yang ada adalah terkendala dana dan teknologi peralatan, sebenarnya ini dapat disiasati dengan memanfaatkan dana terbatas dan peralatan kurang itu untuk mendukung produksi hasil pada potensi yang sangat besar.
Ketiga, Konsep pembangunan dari pemerintah yang berkesinambungan yang jelas, berlanjut dan mengarah pada satu titik maksimalisasi kekuatan ekonomi nasional, melepaskan secara bertahap ketergantungan utang luar negeri. Telah di jelaskan pada awal prinsip pembangunan yang diusung Orde Baru yakni mengutang untuk pembangungan, sekarang saatnya membangun Indonesia dari keringat peluh yang dihasilkan diri sendiri Indonesia walaupun harus bertahap sesuai dengan pendapatan yang diraih. Tentu hal ini akan efisien jika saja pembangunan ekonomi yang tepat sasaran tanpa adanya korupsi dari lembaga pemerintah terkait.
Keempat, meningkatkan pajak secara progresif terhadap barang mewah dan impor, memberdayakan dan menajemen pajak dengan baik.
Kelima, mengembangkan sumber daya manusia berkualitas dan menempatkan kesejateraan yang berkeadilan dan merata sebagai landasan penyusunan operasionalisasi pembangunan ekonomi. Bila kita cermati dengan tingkat pendidikan tinggi rata-rata penduduknya akan memberikan penghasilan yang besar bagi penduduk akan memperkuat ekonomi nasional melalui pengurangan tenaga kerja luar negeri. Bila kesejateraan penduduk besar tentu akan memberikan pajak sangat besar sehingga negeri ini memperoleh pendapatan yang besar.
Dari solusi Ekonomi nasionalis populis tersebut akan berhasil bila ada sinergi antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Lemabaga-lembaga tersebut juga perlu menginvestigasi detail uang yang tergolong ‘haram’ sehingga bisa dipakai untuk menyelesaikan jebakan utang yang terjadi (misalnya dengan jalan meminta penghapusan utang ‘haram’ tersebut). Utang haram ini penulis contohkan seperti utang luar negeri yang diberikan ekslusif untuk pemerintah padahal utang tersebut melanggar hukum-hukum nasional. Tidak lupa hal terpenting yakni adanya kemauan rakyat untuk berubah dan bergerak bersama untuk menghasilkan negara Indonesia yang mandiri dan bertekad bangkit serta mengakhiri utang luar negeri dan juga kontrol masyrakat secara administratif dan penggunaan pengelolaan keuangan agar berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Masalah yang dideskripsikan diatas merupakan akibat dari utang luar negeri yang bersifat internal, implikasi yang terjadi yang mungkin karena dampak utang luar negeri justru sangat membahayakan, menjadikan sebagai ketergantungan baru negara negara berkembang terhadap negara maju dan ketergantungan inilah awal mula ‘jebakan utang luar negeri’.
Utang pemerintah indonesia pada saat ini, khususnya utang luar negeri, sudah berperan sebagai faktor, yang mengganggu APBN. Bahkan faktor gangguan yang berasal dari utang luar negeri tersebut sudah menampakkan signal negatif sejak orde baru ketika terjadi transfer negatif. Utang pokok dan bunga yang dibayar kepada negara donor dan kreditor ketika itu sudah lebih besar dari utang yang diterima oleh pemerintah. Hubungan utang dengan ekonomi rakyat terlihat pada APBN sekarang ini, yang sulit dijelaskan sebagai bentuk anggaran suatu pemerintahan yang normal. APBN dengan beban utang yang berat, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri, merupakan simbol yang rumit dan kompleks dari instrumen kebijakan ekonomi negara ini. Dalam keadaan seperti ini, maka ekonomi masyarakat sangat terganggu. Utang luar negeri Indonesia sudah menjadi beban kronis dari APBN sehingga anggaran negara tersebut tidak memiliki ruang yang memadai untuk kepentingan lain yang lebih penting. Anggaran pengeluaran habis terkikis oleh pengeluaran untuk utang luar negeri. Dengan demikian, APBN Indonesia sudah menjadi instrumen yang sulit bergerak, kartu mati, dan bahkan mengganggu ekonomi nasional secara keseluruhan belum lagi ditambah dengan korupsi dari utang tersebut.
Utang luar negeri merupakan ‘Virus’ mematikan yang menyerang perekonomian negara berkembang dalam jangka yang sangat lama karena akumulasi dari utang luar negeri yang akan lebih besar setiap tahunnya jika terus meminjam. Utang luar negeri ini penulis menyebutkan seperti ‘mesin pembunuh negara berkembang’
Maka dari itu, deskripsi pemikiran diatas semoga dapat dijadikan bahan masukan dalam menanggulangi persoalan utang luar negeri di Indonesia. Indonesia membutuhkan suatu tim ekonomi yang solid dan mampu berperan menemukan solusi bagi kemajuan peerekonomian nasional yang pada akhirnya akan menunjang pembangunan perekonomian rakyat menuju kesejahteraan.
Salam Kompasiana.
Manado, 2 Juli 2015.
Sumber:
Rayla Prajnariswari BK, 2014. Jebakan Utang Luar Negeri(Dampak Utang Luar Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H