"Mengadopsi teknologi mutakhir dimasa lalu, untuk di bungkus dalam riset teknologi kekinian jelas sangat menarik. Nusantara ini penuh dengan warisan teknologi budaya masa lalu, yang sangat layak untuk dijadikan bahan riset dalam konteks teknologi kekinian..."(ROMONTB,kompasiana.com)
Adalah menarik menyimak sudut pandang kompasianer ROMONTB yang mengulas tentang pro kontra publik atas penampilan pawang hujan Rara Istiati Wulandari, dalam gelar akbar MOTOGP Mandalika, 20 Maret 2022.
Saya katakan menarik karena dia berupaya menggugat adanya pandangan negatif Pawang Hujan dari sebagian masyarakat kita, dengan memadukan pandangan teknologi canggih masa lalu dengan masa kini yang perlu dikaji lebih mendalam. Artinya, persoalan ini layak dikaji melalui riset terutama dengan kehadiran BRIN (Badan Riset Nasional).
Memang beralasan bila ada pihak yang seakan tidak menerima kehadiran pawang hujan di arena berskala internasional karena ajang akbar ini diliput berbagai media lokal maupun internasional. Apa yang akan dikatakan masyarakat dunia tentang Indonesia. Di era teknologi makin canggih, kita masih menggunakan kegiatan yang masih melekat dengan nuansa era jaman dahulu.
Mungkin saja mereka itu masih terpaku kaku dengan pandangan sempit istilah pawang yang tercantum di KBBI, dimana pawang adalah orang yang mempunyai keahlian istimewa yang berkaitan dengan ilmu gaib, seperti dukun, mualim perahu, pemburu buaya...Ada pula pengertian pawang adalah jenis dukun dari Malaysia dan Indonesia, yang berurusan dengan sihir yang melibatkan cuaca, binatang buas dan roh, tetapi mereka juga dapat digunakan untuk kasus sihir..
Menurut pemikiran saya, justru kehadiran pawang hujan Rara Istiati Wulandari ini menyajikan sesuatu ciri khas warisan budaya bangsa yang memiliki keunikan dan menjadi daya tarik istimewa agar mengundang minat wisatawan mancanegara berkunjung ke Indonesia.
Momentum gelaran MOTOGP Mandalika salah satu tujuannya adalah memperkenalkan nilai nilai budaya Indonesia ke dunia internasional yang akan bermuara pada pengembangan pariwisata Indonesia.
Fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa penampilan pawang hujan Rara menjadi topik tren di media massa negeri ini dan dunia internasional.
Kompasiana pun para kompasianer menulis tentang pawang hujan Rara Istiati Wulandari. Kompasianer Sigit Eka Pribadi tampil di Featured Article Kompasiana dengan topik dan bahasan menariknya...saya kutip satu bagian tulisannya:
...sudah kebiasaan atau memang sudah jadi tradisi dan budaya, para pegiat even out door masih sering sekali menyewa jasa pawang hujan ini, oleh karenanya penulis jadi terikut juga berlaku seperti ini....
Pagi ini saya melihat di tweeter, sorotan khusus tentang pawang hujan Rara, simak disini:https://www.google.com/search?q=rara+pawang+hujan&rlz=1C1CHBF_enID760ID760&oq=rara&aqs=chrome.2.69i59j46i131i433i512j0i131i433j0i3j46i512j69i60l3.12046j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8
Mengapa profesi pawang hujan ini tidak dikembangkan dan diberdayakan? Profesi unik namun urgen ketika kita membutuhkan jasa mereka dalam momentum kegiatan di ruang terbuka acara acara kenegaraan, olahraga dan musik dan lain lain. Profesi yang menjanjikan di masa depan, pawang hujan kenapa tidak? Konon, Rara Istiati Wulandari selama 21 hari bertugas di sirkuit MOTOGP menerima bayaran ratusan juta rupiah..