Ini bukan ayat ayat Api!
Saya memang bukan penulis puisi yang handal. Saya hanyalah penikmat puisi dan ingin menghayati dan memahami apa yang tersirat dalam bait bait atau larik larik sebuah puisi.
Setiap orang akan berbeda dalam memaknai sebuah puisi yang di tulis seorang penyair. Tergantung dari sudut pandang yang ada dalam diri penikmat dan perjalanan pengalaman pribadi serta menyimak tulisan tulisan sastrawan dalam membedah dan menelaah sebuah karya puisi.
Ini memang bukan ayat ayat api, namun coba menelisik apa yang tersirat dalam puisi yang ada di dalam buku karya legendaris sastra Indonesia Sapardi Djoko Damono. Sebuah puisi menarik SDD, sapaan akrabnya berjudul ADA POHON BERNAFAS. Puisi ini memang tidak setenar seperti Ayat Ayat Api, terlebih yang populer seperti Hujan Bulan Juni, Aku Ingin, Pada Suatu Hari Nanti. Memang itu harus diakui, bahkan puisi Hujan Bulan Juni dalam buku kumpulan puisinya itu telah menginspirasi pembuatan film dimana SDD menjadi tokoh pemain di dalamnya.
Apa yang menjadi keistimewaan puisi ADA POHON BERNAFAS itu bagi Kompasiana termasuk di dalamnya Kompasianer?
Sebelum saya membahasnya, mungkin perlu dituliskan puisi itu disini.
Ada pohon bernafas jauh dalam diri kita
di setiap helaan nya seratus burung pulang
mendengar cericit anak-anaknya
Ada pohon bernafas jauh dalam diri kita
di setiap hembusan nya seratus warna bunga
berhamburan menyambut godaan cahaya
Sebuah puisi nan pendek dibandingkan puisi ayat ayat api nan agak panjang. Namun sebenarnya puisi itu seakan akan telah memprediksi sesuatu hal yang akan terjadi masa kini.Â
Saya anggap puisi itu telah menceritakan tentang eksistensi atau keberadaan kita kompasianer di Kompasiana saat ini. Coba kita telisik secara khusus dengan menggunakan cara kompasianer Felix Tani, yaitu menggunakan metode tanpa metode, intuisi dan serendipitas. (Maaf Prof kalau saya keliru).