Mohon tunggu...
Johanis Malingkas
Johanis Malingkas Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Menulis dengan optimis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Multatuli

29 November 2019   21:50 Diperbarui: 30 November 2019   10:37 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Multatuli adalah kata latin yang bermakna "Aku sudah menderita cukup banyak" atau "Aku sudah banyak menderita". Ini nama pena dari seorang penulis bangsa Belanda bernama Eduard Douwes Dekker, yang pernah menjabat asisten residen Lebak dalam masa pemerintahan Kolonial Belanda. Bagi para sastrawan dan pujangga Indonesia bahkan peminat kesusatraan jelas mengenal siapa Multatuli. 

Dialah penulis buku 'Max Havelaar" yang sempat menghebohkan kalangan pejabat pemerintahan kolonial bahkan buku tersebut menjadi karya klasik yang mendunia. 

Buku itu memang dinilai bukan karya biasa. Buku yang membeberkan kenyataan pahit hidup masyarakat Lebak dibawah cengkeraman koloniaisme dan feodalisme. Buku yang mengandung kritik tajam yang membuka mata sebagian besar masyarakat duniia mengenai betapa perihnya  arti sebuah penindasan. Pramudya Ananta Toer menilai buku itu yang "membunuh" kolonialisme. Intinya, kehadiran buku ini menggemparkan dan mengusik nurani.

Ya, dalam buku ini Eduard Douwes Dekker alias Multatuli mengisahkan kekejian sistem tanam paksa yang menyebabkan ribuan pribumi kelaparan, miskin dan menderita.  rakyat di peras tenaganya oleh kolonial Belanda dan pejabat pribumi korup yang sibuk memperkaya diri.

Ketajaman pena Multatuli inipun membuahkan hasil dimana Belanda lalu menerapkan politik etik dengan mendidik kaum pribumi elit sebagai upaya "membayar" utang mereka pada pihak pribumi.

sampul buku Max Havelaar(sumber:gramedia.com)
sampul buku Max Havelaar(sumber:gramedia.com)
Karya Multatuli dengan Max Havelaar boleh dianggap sebagai buku yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan sehingga dapat dijadikan inspirasi dan motivasi bagi siapapun dalam berkarya.

Kepedulian terhadap mereka yang saat ini masih berada dalam keadaan yang memprihatinkan bahkan masih terabaikan boleh menjadi "inspirasi" dalam menghasilkan karya-karya yang humanis.

Mungkin itulah yang menjadi dasar pemikiran orang-orang yang bergerak di dunia film di negeri ini sehingga buku Max Havelaar karya Multatuli diangkat dalam sebuah film. Resensi buku ini dapat disimak di sini 

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai sosok Eduard Douwes Dekker dapat disimak di sini.

Nah, apakah anda memiliki nama pena dalam berkarya? Multatuli nama pena yang menarik dan menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Sebagai seorang insan yang kerap menulis di koran lokal, sayapun sering menulis nama pena: Alberto Malino atau JAM. Nama pena yang tidak begitu populer dan tidak sebanding dengan Multatuli, HAMKA atau Remi Silado (23671).

Begitulah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun