Kurva antara Produksi vs Konsumsi Indonesia mengalami penurunan produksi secara National yang diluar kewajaran seperti tergambar dari kurva tersebut diatas. Pada kurva dapat dibaca bahwa pada thn 1980 Produksi mencapai 1.577 ribu barrel/hari yaitu pada ttk. A, kemudian thn 2004 menurun pada ttk.Cmenjadi 1.096 dan seterusnya thn 2009 menjadi ttk. E pada 946 ribu barrel/hari. Pada sisi lain pemakaian/konsumsi meningkat terus mulai dari ttk.B thn 1980 =408 ribu barrel/hari kemudian pada thn 2004 mencapai titik imbang dengan Produksi yaitu pada ttk.C sehingga thn 2004 dunia mencatat bahwa Indonesia menjadi “Net Oil Importer”. Mulai thn 2004 untuk memenuhi kebutuhan Dalam Negeri volume dari segitiga DCE diimport, dan inilah yang membuat kerugian ganda pada APBN karena disamping pasokan dana produksi D.N. berkurang lagian harus mengeluarkan dana untuk mengimpor crude oil (bbm). Dengan kata lain bahwa UUD 45 ps.33 sebenarnya sudah tidak berlaku lagi bagi volume segitiga DCE karena bukan lagi diambil dari perut bumi Indonesia tapi diimport, jadi kalau ini di“SUBSIDI” maka akan sangat menghantui kekurangan(deficit) APBN, makanya subsidi minta dicabut tetapi pencabutan ini oleh masyarakat awam dibaca sebagai kenaikkan harga BBM, sehingga setiap usaha dari pemerintah untuk memperbaiki pasokan dana dari sector Migas selalu didemo secara massif oleh Mahasiswa padahal apabila subsidi tidak dicabut dan harga dibiarkan tetap murah maka kita tidak bergairah untuk menghemat energy dan tidak berusaha berkreasi mencari atau menciptakan energy alternatip. Sebenarnya sih, minyak terlalu mahal atau terlalu mewah kalau hanya digunakan sebagai bahan bakar karena ia adalah dipergunakan juga sebagai bahan baku produksi Petrokimia. Para ahli perminyakan bukannya tidak bisa mempertahankan agar grs kurva A-E tetap stabil dan paling tidak kita tetap menjadi negara pengekspor tetapi terlampau banyak permasalahan yang terkait disana yang berujung dan mengerucut ke “PLOW BACK” cost yang tersedia oleh Pemerintah. Kecilnya plow back cost karena ditenggelamkan oleh adanya faktor “subsidi” yang masih terus dipertahankan karena faktor politis. “Net oil importer” artinya walaupun kita mengimpor minyak tapi kita mengekspor minyak yang tidak dapat diolah oleh seluruh kilang di Indonesia, karena keterbasan specification design dari kilang (Pabrik) “Plow back cost” adalah biaya yang dibutuhkan untuk disamping memelihara Produksi yang sudah ada juga untuk biaya pencarian (exploitasi, exploration, dll). Pemerintah hanya mensisihkan 0,07% dari hasil yang didapat. Angka ini sangat jauh dari yang diharapkan para ahli, sehingga para ahli yang tidak mau dibayar murah pada hengkang keluar negeri. Untuk menemukan migas kan perlu ahli dan perlu biaya bukan sekedar membuka keran dan minyak akan muncrat (kalau begini enaaaakkk). Disamping itu perlu kerja keras karena sesuai kurva tsb diatas keadaannya sungguh memprihatinkan, kasihan anak cucu sebagai penerus. Kesimpulan: Karena besarnya anggaran subsidi maka biaya untuk menemukan minyak mendapat alokasi kecil alias tidak cukup untuk menemukan lading-ladang baru. Saran: Subsidi harus dicabut, tentunya secara perlahan sehingga tidak merusak tatanan yang ada
Tulisan ini sekedar gambaran Ibu Pertiwi yang sedang lara, kalau subsidi tidak dicabut berarti pemerintah ingin membunuh sang Ibu Pertiwi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H