Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Persahabatan Nilainya Jauh Lebih Berharga dari Sekadar Jagung Marning

26 Juli 2024   11:11 Diperbarui: 26 Juli 2024   18:28 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi pribadi

Awal Juli via DM di IG ia menyapaku dengan pertanyaan soal apakah aku masih tinggal di Bandung. Pertanyaan yang menunjukkan sedikit keragu-raguan karena lama tak pernah berkomunikasi. Tetapi, setelah aku menjawab dengan mengiyakan. Ia mulai antusias

"Fua, ada ikut even race pocari sweet di Bandung hari Minggu, bolehkah berkunjung ke Bapak sekalian?"

"O, silakan!"


Setelah saling bertukar nomor hape ia berjanji akan menemuiku, kelak. Janji itu beralu begitu saja -rasanya, tenggelam dalam kesibukan. Akupun tak tahu persis hari Minggu yang mana lomba lari itu akan berlangsung.

Kemarin aku baru menyadari kalau momen yang membuat kota Bandung menjadi sibuk dan bertambah macet itu sudah berlangsung hari Sabtu dan Minggu yang lalu. Aku tahu saat pagi itu aku membaca pesan singkat melalui WA.

Senin pagi itu aku bersama istri sedang menikmati bubur ayam di sudut lapang Saparua. Sudah sejak setahun kami berdua istri berolah raga di seputar lapangan tersebut selepas mengantar Adena, si bungsu yang bersekolah di SMP di Jalan Ambon. Sarapan pagi telah menjadi ritual penting selepas berolah raga, sambil mengeringkan keringat. Di seputar Lapang Saparua terdapat banyak lapak kuliner. Bubur ayam di sudut lapang di bawah pohon besar Sonokeling yang rindang di pertigaan Jalan Saparua dan Jalan Ambon, salah satu langganan kami.

"Saya sudah OTW ke rumah Bapak." demikian bunyi pesan singkat dari Fua.
"O, iya."

Aku terkesiap, kaget. Beruntung sendok terakhir bubur sudah habis. Istriku yang sudah selesai sarapan sedang beralih bermain hape. Setelah menyelesaikan transaksi dengan QRIS aku beringsut. Pulang.

Aku pikir mestinya ia sampai duluan di rumahku. Betul saja, saat aku aku tiba dari kursi teras rumahku -tempat aku biasa mengopi saban pagi, ia bangkit dari duduknya menyambut kami. Ia tersenyum ke arah kami. Memori lama pun menyeruak mengingatkan saat-saat tinggal di Bulukumba.

Ingatanku kembali mengembara ke Bulukumba, kabupaten kecil di ujung pantai selatan Sulawesi Selatan. Terbayang kapal pinisi yang anggun menjulang tinggi. Tentang pesisir Bira yang berpasir putih, pantai Bara yang menawan dan pantai Parangluhu yang memesona. Pisang pepek, Coto Makassar yang kaya rempah dan ikan panggang yang dibakar arang batok kelapa asapnya membumbung mengantar bau gurih yang merangsang air liur. Semuanya seperti tampak di depan mata.

Wajah-wajah kawan lama, kawan sejawat saat bertugas di BRI Bulukumba bermunculan kembali, silih berganti. Wajah Fua yang kemarin samar-samar, setelah tampak berada dihadapanku menjadi makin terang.

Tahun 2017 ia ditugaskan sebagai teller di BRI Unit Tanah Jaya, 30 km jauhnya dari kota Bulukumba. Sehabis subuh ia kerap memarkirkan sepeda motornya di halaman parkir Kantor Cabang BRI tempatku bekerja. Setelah itu ia berangkat dengan membonceng pada sepeda motor kepala unitnya sampai ke tempatnya bekerja. Begitu setiap hari. Aku sering memergokinya lantaran rumah dinasku berada di samping kantor dan setiap pagi aku berolah raga jalan pagi mengitari lingkungan kantor.

Setelah 7 tahun berselang, baru sekali ini kami kembali berjumpa. Ia merasa senang dan banyak bercerita pagi itu. Tentang karir bekerjanya yang sudah meningkat ke jabatan setingkat lebih tinggi, tentang kawan-kawan lama dan kawan barunya di tempat kerja yang keluar masuk. Juga tentang ia yang sudah berkeluarga.

Hobinya berolah raga lari jarak jauh yang membawanya berlomba di Bandung, sebelumnya aku tidak pernah menduganya. Aku kagum dibuatnya. Sebagai pegawai bank yang terkenal super sibuk, sekaligus ibu rumah tangga adalah makhluk langka yang bisa menyempatkan diri menekuni hobi sebagai pelari marathon.

 "Tak punya banyak waktu untuk berlatih," katanya. "Tapi setiap akhir pekan dipastikan berlari paling tidak 10 km."

Apa kesannya tentang kota Bandung? "Wah!" katanya. Pergi ke kota yang untuk pertama kalinya naik kereta api cepat Whoosh, sulit dilukiskan dengan kata-kata, katanya lagi. Tak pernah membayangkan naik kereta secepat itu. Pada malam terakhir di Bandung ia menyempatkan berjalan kaki dari hotel tempatnya menginap di sudut Jalan Merdeka ke Braga lanjut Asia Afrika pada tengah malam. Tetapi, pada saat berlari marathon ia mengeluhkan gangguan kendaraan yang banyak berlalu lalang pada rute jalan yang seharusnya steril dari arus lalu lintas termasuk pejalan kaki. Itulah Bandung, dari sisi yang memalukannya, pikirku.

Dalam kesibukan mempersiapkan lomba, ia masih sempat pula membawakanku oleh-oleh jagung marning. Jagung kering goreng yang renyah, panganan khas Bulukumba.

"Maaf, hanya ini yang bisa dibawa," katanya.

Sudah banyak yang berubah, memang. Jagung marning yang banyak diproduksi di Bulukumba, dulu sekadar dijajakan di kedai dalam toples besar. Dijual dalam kemasan plastik kresek sederhana. Saat ini bukan saja disajikan dalam kemasan yang modern juga dalam banyak varian rasa. Fua yang dulu gadis, sekarang sudah beranak dua. Tetapi ada yang tidak berubah, persahabatan kami. Rasa sosial kami tidak berubah, ikatan emosional masih memiliki kohesi yang melekat kuat.

#tabe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun