Turun di Stasiun Kiaracondong, hari masih gelap. Mau naik ojol tak tahan dengan dinginnya cuaca pagi, tetapi kalau naik taksi online rasanya kemahalan. Akhirnya pilih naik angkot.
Sejak pensiun pengeluaran betul-betul harus diperhitungkan. Bukan pelit, tetapi selama ini hidup rasanya terlalu boros. Tidak sadar sering membelanjakan uang untuk hal-hal yang tidak perlu. Setelah pensiun pendapatan mengkerut, kesadaran untuk menggunakan uang secara efektif timbul dengan sendirinya.
Untuk menuju pangkalan angkot, dari pintu selatan stasiun aku harus menelusuri jalan kecil kurang lebih dua ratus meter. Jalan itu tidak terlalu sempit sebenarnya, tetapi karena di kanan dan kirinya berjejalan dengan pedagang kaki lima jalan tersebut macam tersumbat.Â
Mereka berjualan sepanjang hari hampir 24 jam tidak pernah sepi. Seperti di pagi dingin seperti ini aku pun harus melewati pedagang sorabi Bandung, tukang gorengan, bubur ayam, nasi kuning, dan beberapa tukang sayur. Jam 9 nanti mereka akan berganti dengan pedagang mainan anak, pakaian, peralatan dapur yang kemudian akan berganti dengan tukang martabak, kopi seduh, nasi goreng, bakmi dan beragam kuliner sampai menjelang subuh. Begitu seterusnya saling bertukar tempat macam atlet lari estapet.
Jalan kecil itu akan berujung dengan jalan besar tempat mangkal angkot. Dari kejauhan di seberang jalan tampak angkot warna kuning gading dengan polet hijau tujuan Antapani, parkir di pinggir jalan.
Ada dua angkot yang sedang parkir beriringan. Aku menyeberang jalan menuju angkot yang paling depan. Belum ada satu orang pun selain sopir yang duduk di atas angkot itu. Sopirnya kurus ceking masih muda usianya sekitar 30-an, sedikit lebih tua dari anakku.
Aku mencoba membuka pintu depan di samping supir, tetapi setelah diutak-atik pintu angkot itu tidak berhasil terbuka. Melihat aku kesulitan sopir angkot turun dari mobil dan membantu membukakan pintu, sehingga aku bisa duduk di dalamnya. Mobil angkot itu sudah tua sepertinya, dashboardnya sudah compang-camping, bekas radio/tape sudah berlubang sementara lantainya juga sudah keropos, tampak jalan aspal. Mengerikan sekali.
Beberapa saat angkot itu tidak juga berangkat pergi, menunggu penumpang lain. Tetapi setelah menunggu lebih dari 8 menit tak ada penumpang lain yang naik. Sopir angkot pun pasrah, lalu distarter mobilnya. Aku sedikit terperanjat dibuatnya, suara mesin mobilnya macam kandang ayam yang kemasukan maling. Riuh rendah, tempat duduk pun bergetar. Tetapi pelan-pelan angkot pun mulai melaju.
Setiap ketemu lorong sopir menghentikan angkotnya sambil membunyikan klakson. Berharap ada orang yang berniat menumpang. Sayang sudah beberapa lorong dilalui tak satu pun penumpang didapat.
"Sepi penumpang, ya Kang. Apa karena masih pagi?"
"Bukan, bukan karena kepagian. Emang selamanya sepi Pak!"
"O gitu."
"Ya, Pak. Sekarang ini menjadi supir angkot gak bisa diandalkan."