Menengok pohon alpukat muda yang meranggas macam anak cacingan. Tak kuasa menitik air mataku. Ingat buah alpukat yang dijual di pasar tradisional yang peot, membusuk dan berulat. Tak pernah menemukan yang bagus. Pantas, seperti itulah pohonnya di kebun tidak dirawat. Aku merasa tertantang untuk berkebun alpukat. Sebegitu sulitkah merawat alpukat?
Lahan-lahan yang sudah terjual sebagian besar dibeli oleh orang-orang dari Jakarta. Mereka bukan berniat mau berkebun, sekadar investasi menunggu harga lahan naik, sebagai investasi seolah membeli saham. Mereka tergoda rumor kalau tak jauh dari lahan yang ditawarkan akan dibangun stasiun kereta api cepat dan kawasan ekonomi baru. Mereka itu tidak satu frekwensi denganku, pikirku.
"Mau ke lokasi lain, Pak."
"Cukup."
Dalam perjalanan pulang, istriku yang duduk di samping yang sedari tadi tak satu katapun terucap memberi isyarat kalau kavling-kavling kebun yang ditawarkan tidak layak untuk dimiliki. Aku mengangguk.
Bulan Februari masih sering turun hujan. Langit berwarna biru tak berawan, tersapu hujan tadi pagi. Menjelang dzuhur, mobilku membelok masuk ke gerbang tol Padalarang. Di jalan tol lalu lintas tampak lenggang membuat mobilku leluasa dipacu dengan kecepatan di atas 100, kembali ke Antapani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H