Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sop Ikan Serasa Tom Yam Itu Dikenal dengan Pindang Srani di Jepara

5 Agustus 2023   14:26 Diperbarui: 5 Agustus 2023   14:41 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu pertama di Jepara aku mengalami kepanikan budaya. Kebiasaan santai di Padangsidimpuan sangat kontras dengan volume dan jenis pekerjaan yang banyak yang menuntut kerja keras, bahkan pada minggu pertama, waktu yang semestinya digunanakan untuk penyesuaian. Saluran percernaan tergannggu, konstipasi -sulit buang air.

Bukan stres karena pekerjaan, tetapi lebih pada belum menemukan menu makanan yang sesuai. Hari-hari perut diisi masakan padang yang tak jauh-jauh dari ayam goreng dan rendang. Saluran cerna pun memberontak, protes.

Lima tahun tinggal di Padangsidimpuan nyaris identik dengan makan gulai limbat saban hari. Limbat adalah jenis ikan air tawar yang banyak ditemukan di sungai-sungai yang banyak melintang di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Limbat boleh disebut satu famili dengan ikan lele karena bentuknya yang mirip. Bedanya lele warnanya cenderung hitam polos sedangkan limbat berbintik-bintik dan warna tubuhnya dominan coklat agak kekuning-kuningan. Lele lebih bongsor tubuhnya, sementara limbat yang hidup di sungai-sungai berair deras lebih langsing cenderung kurus.

Limbat yang digulai sebagai kawan makan nasi diolah dengan diasap terlebih dulu, dikenal juga dengan ikan sale. Gulai limbat itu merupakan gulai bersantan berwarna merah dari cabe yang ditumbuk halus. Jahe, kunyit, serai dan salam rempah wajib yang harus diracik untuk membuat gulai ikan limbat yang sempurna. Dihidangkan dengan nasi pera -bukan pulen, ditambah kawan daun ubi rebus tumbuk dicampur rimbang serta sambal cabai merah dijamin menguras banyak keringat saat melahapnya. Itu yang membuat rasa bosan hidup merantau sedikit terobati.

Di Jepara tak ditemukan sungai-sungai yang melintang. Di samping kantor BRI Cabang Jepara memang ada sungai yang mengalir ke laut. Airnya keruh menggenang, aliran airnya tidak deras seperti di Tapanuli Selatan. Sungai seperti itu tentu bukan habitat yang cocok untuk ikan limbat biasa tumbuh dan berkembang. Tak ada ikan limbat tak ada pula gulai ikan limbat, kesukaanku.

Namun begitu, perut yang melilit membuat kakiku harus melangkah mencari warung makan. Pagi itu baru jam sembilan tetapi matahari pantura panasnya sudah menggigit.

Aku berjalan ke luar dari gang tempatku ngekos untuk menuju jalan raya. Dari gang aku membelok ke kiri ke Jalan KS Tubun. Beberapa langkah di trotoar jalan raya itu hidungku mencium bau asap ikan dibakar. Aku pun mulai mengendus-endus. Rupanya tak lebih dari sepelemparan batu jauhnya dari tempatku berdiri tampak asap mengepul dari depan warung kecil di depan mata. Aku pun mendekatinya.

"Ada apa lauknya, mbak?"
"Monggo pinara Pak. Ada ikan bakar, ikan goreng sama pindang."
"Ada yang kuah-kuah, mboten?"
"Enten Pak, Yok ini pindang srani."

Mencari yang kuah-kuah ditawarinya pindang, pikiranku tertuju pada pindang bandeng, pindang deles, dan pindang tongkol olahan ikan rebus yang tidak berkuah. Tetapi perut sudah keroncongan, aku pun mencari tempat duduk di meja yang masih kosong dan mencoba minta satu mangkuk pindang srani.

"Bapaknya aslie pundi?"
"Sunda."
"Lho kok, logate sumatra."
"Oh, iya sumatera, hihihi..."

Semangkuk pindang srani sudah tersaji. Wangi daun kemangi menguar ke arah hidungku dari uap di mangkuk di depanku, membuat penasaran.

Kuamati dengan cermat semangkuk ikan berkuah itu. Kuahnya agak bening, ini sop ikan pikirku. Di bagian atas kuah ikan itu tampak irisan tomat, potongan belimbing keris dan beberapa cabe rawit mengambang.

Aku mengambil sendok bebek yang tersedia untuk menyendok kuah di mangkuk itu. Lalu menyesapnya pelan, mengicip-icip. Rasanya sedikit asam, manis dan gurih. Aku menyendok lagi kuahnya mengicipnya dengan menggigit sepotong kecil cabe rawit. Wuiss, sensasinya mulai timbul, mirip tom yam. Sop ikan ini berasa sekali rempahnya. Pagi itu aku merasa sudah masuk ke warung makan yang benar.

Berbeda dengan gulai limbat di mana ikan limbat sebagai aktor utama, pindang srani tidak identik dengan satu jenis ikan. Pindang srani bisa dengan berbagai jenis ikan berbeda-beda. Bisa menggunakan ikan kakap putih, krapu, ikan sirip kuning, atau bahkan bandeng. Aku lebih memilih yang pakai ikan kakap putih, tidak banyak duri, teksturnya kenyal dan tidak terlalu lembek.

Konon, awalnya -sebelum dihidangkan secara luas di rumah-rumah makan pindang srani merupakan bekal nelayan selama melaut. Boleh jadi surat-surat RA. Kartini kepada kawan Belandanya yang amat puitis itu sedikit banyak dipengaruhi makanan yang dikondumsinya. Sop ikan berempah macam tom yam, pindang srani pikurku bisa merangsang orang untuk menulis sastra.

Aku mulai berpikir untuk melepaskan pelan-pelan goreng ayam dan rendang sapi yang memicu sembelit dan membiarkan gulai limbat tenang di tempat yang jauh, di Tapanuli Selatan. Di kantor kukabarkan kepada kawan-kawan tentang pertemuanku yang lalu jatuh hati pada sop ikan berempah rasa tom yam yahut pindang srani itu. Tepuk tangah bergemuruh.

"Itu belum seberapa, Pak Jo. Ada lagi yang lebih sensasional."

Kami pun serombongan berangkat dengan Kijang kapsul, berdelapan penuh sesak. Tanpa banyak menginjak rem mobil sudah berparkir di depan warung makan. Menu masakan serba ikan.

Yang disajikan di meja di hadapanku siang itu gulai kepala ikan manyung. Perlu mangkuk lebih besar untuk menampung satu kepala ikan itu. Pun, untuk mengisahkan sensasinya, perlu waktu lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun