Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Naik Kereta Api Sepuluh Tahunan yang Lalu Mengasyikan, Meskipun Kadang Konyol

29 September 2022   11:30 Diperbarui: 29 September 2022   16:15 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama kali naik kereta api September 1995, ketika usia sudah lewat 30 tahun. Waktu itu bersama kawan-kawan Calon Staf angkatan 26 BRI naik kereta api Senja Utama dari Jakarta-Gambir ke Semarang-Tawang.

Sebelumnya, tidak pernah naik kereta bahkan melihat rel kereta pun tidak. Lahir dan besar di Kuningan yang tidak ada jalur kereta, tentu kereta api bukan pemandangan sehari-hari. 

Kemudian melanjutkan kuliah di Bandung yang memiliki stasiun besar KA, bahkan Kantor Pusat PT KAI pun berada di sana, akan tetapi tak ada jalur kereta api Bandung-Kuningan, lagi-lagi tak sempat naik kereta. 

Eh, tetapi pernah naik kereta rel diesel dari Bandung ke Rancaekek -kecamatan di Bandung Selatan, saat berkunjung ke rumah teman yang kebetulan tinggal di Rancaekek, tahun 1985. 

Hanya sekali itu saja, sebelum kemudian tahun 1995, naik kereta api Senja Utama, sepuluh tahun kemudian. Alasan yang masuk akal sebenarnya adalah karena dalam periode itu saya belum bekerja di luar kota dan lebih banyak tinggal di satu tempat atau jarang bepergian.

Tetapi, mulai tahun 1995 sejak ditugaskan on the job training di salah satu Cabang BRI di Solo saya kerap bepergian menggunakan kereta api. Pernah satu kali dalam perjalanan kereta api dari Solo ke Jakarta mengalami sesuatu yang memalukan.

Saat itu lewat tengah hari kereta meluncur ke arah barat setelah berhenti sebentar di Stasiun Cirebon. Suhu udara sangat panas, khas suasana pantura. Mulut terasa kering dan haus. Beruntungnya, tidak berapa lama terdengar gemerincing suara gelas dipukul-pukul uang logam. Seorang lelaki paruh baya berseragam atas putih bawah abu-abu menenteng nampan berisi bebera gelas tinggi, menawarkan es buah. 

Tanpa bertanya ini-itu saya mengambil satu gelas. Setelah mengambil uang receh untuk membayar saya meletakan gelas tinggi itu di meja kecil di pinggir jendela sambil memberi kode pada teman di samping apakah ia mau membeli satu gelas es buah juga atau tidak. Temen itu menggeleng, saya pun maklum.

Setelah penjaja es buah itu berlalu, temen di samping membisikan sesuatu di telinga.

"Kalo mau makanan dan minuman, pesan sama pelayan kereta" bisiknya.

"Lho, bukannya ia petugas kereta, lihatlah seragamnya?" jawab saya.

"Bukan, lihatlah pakaian yang dikenakan. Sangat lusuh dan kotor."

Saya terkesiap. Saat itu di gerbong kereta api tidak dilarang pedagang asong, pengamen bahkan copet keluar masuk gerbong kereta. Naik di satu stasiun, turun di stasiun berikutnya. Orang-orang yang sudah berlangganan naik kereta sudah paham dengan gerak-geriknya. 

Kualitas makanan dan minuman yang ditawarkan tidak sebaik yang disediakan restoran kereta api. Tak jarang makanan atau minuman basi tetap dijajakan di depan penumpang kereta. Itulah sebabnya orang cenderung pesan melalui pelayan kereta api yang setiap saat hilir mudik di selasar bangku kereta.

Laki-laki paruh baya itu pandai menyiasati. Ia pun memakai pakaian yang mirip seragam petugas kereta api. Sayang penyamaran yang dilakukan kurang sempurna.

Mungkin ia hanya punya satu-satunya pakaian yang dikenakan tiap hari sehingga tampak lusuh dan kotor. Lagi pula kalau petugas kereta, mereka melayani pesanan makanan, minuman atau hal lain dari penumpang dengan mencatanya di buku kecil. Pesanan baru diantar ke kursi penumpang setelah siap saji.

Menyadari hal itu akhirnya gelas tinggi itu saya bawa ke kamar kecil dan ditumpahkan di lubang toilet. Saat laki-laki berseragam itu mengambil gelas di meja kecil, gelas itu sudah kosong. Belajar dari pengalaman itu saya tak pernah lagi belanja dari pedagang asong.

Tinggal di Solo hanya 14 bulan, setelah itu saya ditugaskan di Padangsidempuan, Sumatera Utara. Pupuslah untuk bisa naik kereta api semau saya suka. Setelah itu pindah ke Jepara lalu ke Kupang. Tiba-tiba pindah ke Pematangsiantar tahun 2015. 

Saat itulah mulai melihat lagi rel kereta, stasiun bahkan bisa menikmati kembali naik kereta api jurusan Pematangsiantar-Medan. Sayang, masyarakat Pematangsiantar lebih suka bepergian dengan bus sehingga gerbong kereta sering kosong, tidak mengasyikan. Saya pun terbawa arus, hanya sesekali saja naik kereta api selama hampir dua tahun tinggal di Pematangsiantar.

Akhirnya kesempatan itu datang. Awal tahun 2010 mendapat tugas di Yogyakarta. Anak-anak sudah beranjak remaja, mereka memilih sekolah dan tinggal di Bandung.

Sejak saat itulah saya pulang balik Yogya-Bandung atau sebaliknya sekali dalam dua minggu. Angkutan yang dipilih adalah kereta api karena terasa paling aman, tepat waktu dan bisa membaca buku -hobi sejak kanak-kanak.

Pulang dari Yogya ke Bandung Jumat malam, kembali dari Bandung ke Yogya Minggu malam lebih sering naik kereta Lodaya malam. Tetapi, tidak selalu begitu, kadang naik Mutiara Selatan, Malabar atau kereta api eksekutif Turangga tergantung dapatnya tiket.

Ketika hanya sesekali naik kereta tiket tak pernah menjadi persoalan. Tetapi sejak rutin naik kereta, tiket kereta menjadi persoalan tersendiri. Saya tidak berani membeli tiket sesaat menjelang keberangkatan. Jauh-jauh hari harus sudah memiliki tiket agar aman pada setiap bepergian untuk pergi dan pulang.

Dulu, sebelum CEO PT KAI dipegang Ignasius Jonan, untuk memperoleh tiket kereta api memerlukan perjuangan berat. Tiket hanya dijual di stasiun kereta atau beberapa agen yang ditunjuk yang jumlahnya tidak banyak.

Tidak jarang setelah beberapa lama mengantre di depan loket penjualan tiket, tahu-tahu tiket habis. Penjualan tiket beralih di pasar gelap, ke para calo yang berkeliaran di sekitar stasiun sekalipun di sana terpasang spanduk peringatan, "Hati-hati dengan Calo Tiket."

Sekalipun sulitnya berburu tiket, naik kereta tetap mengasyikan. Sering ketika di rumah tak sempat makan malam bisa memesan nasi goreng atau nasi bipstik sesaat setelah kereta api beringsut dari stasiun ditambah susu panas atau sesekali kopi hitam.

Yang lebih mengasyikan saya bisa menyalurkan hobi membaca dengan leluasa. Tak pernah lupa di ransel selalu disisipkan buku sebelum berangkat ke stasiun untuk dibaca di atas gerbong. Di gerbong kereta api saya menjadi tahu berapa persen penduduk kita yang suka membaca. 

Dari jumlah tempat duduk sebanyak 80 -kalau penuh, hanya satu dua yang membuka buku dalam perjalanan. Sebagian besar mereka langsung tertidur pulas, bahkan mendengkur. Sebagian kecil asik mengobrol sebelum akhirnya tertidur.

Sangat dimaklumi penumpang dari Yogya di akhir pekan sebagian besar pegawai yang kelelahan setelah seminggu bekerja, sisanya pedagang yang mau mencari peruntungan di Bandung segera berangkat tidur sedini mungkin agar tidak mengantuk saat berjualan besok.

Lainnya, adalah penumpang yang tidak bisa ditebak kenapa malam itu naik kereta juga segera ambil selimut dan tidur karena tak ada yang bisa dikerjakan.

Saya dari Stasiun Tugu membaca buku rata-rata sampai Stasiun Kroya sebelum kemudian melipatnya lalu tidur. Begitu juga kalo berangkat dari Bandung, Stasiun Kroya menjadi batas untuk mengakhiri membaca.

Sampai akhirnya ditugaskan kembali di Bandung pertengahan tahun 2013 tak kurang dari 3 tahun bisa menikmati layanan kereta api setiap dua minggu sekali. Pulang pergi Yogya-Bandung atau sebaliknya. Ada banyak kenangan indah selama itu. Banyak bertemu orang dari berbagai kultur dan usia, laki-laki atau perempuan. 

Bahkan setelah beberapa kali naik kereta saya mulai mengamati penumpang yang itu-itu lagi. Mereka yang senasib yang harus pulang pergi secara rutin karena bekerja di Yogya tetapi keluarga menetap di Bandung.

Dengan kelompok pelaju seperti ini akhirnya berbagi nomor HP kemudian membentuk komunitas yang kemudian berbagi informasi terutama tentang bagaimana berburu tiket kereta.

Setelah era Jonan, saya hanya sesekali naik kereta terutama KA Parahyangan dari Bandung ke Jakarta atau sebaliknya. Sekarang layanan kereta api sudah jauh lebih nyaman. Semua ber-AC, bersih, tepat waktu dan bebas dari pedagang asong serta tidak terdengar lagi ada copet. 

Tiket bisa dipesan secara online tanpa harus mengantre dan bebas dari jaringan calo, tentu saja. Sebentar lagi kereta api cepat Jakarta-Bandung akan segera beroperasi, mudah-mudahan bisa menikmatinya sekalipun tiketnya mahal, katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun