Kami pun bertiga naik ke atas becak motor. Kopor dan tas dijejalkan di depan membuat kaki kami terjepit. Tak sampai dua puluh menit, kami sudah disambut hangat oleh keluarga Simanjuntak di Jalan Soripada Mulia, simpang Jalan Tanobato.
Penyambutan keluarga Simanjuntak tak kalah ramahnya dari keluarga Sitinjak. Madu, pikirku. Setelah sarapan sup ikan aku diajak jalan-jalan keliling kota Padangsidempuan oleh Ompung Simanjuntak -panggilan mewakili putriku karena semenjak masuk rumah tadi pagi aku langsung diakui sebagai anaknya dari marga Simanjuntak, otomatis putriku menjadi cucunya dan harus memanggil ompung. Aku masih mengantuk sebenarnya, tetapi kata ompung mumpung masih libur karena besok aku mulai kerja hari pertama. Betul juga, pikirku.
Aku duduk di depan di mobil truk Datsun tua warna coklat tua itu, kendaran operasional sehari-sehari. Ompung adalah pedagang kain ulos. Ompung sendiri yang pegang setir.
Saat masuk jalan besar, ompung bilang kita lewat pasar. Ketika lewat di depan pasar ompung bilang ini pajak besar kebanggaan warga kota.
"Di mana kantornya?" kutanya ompung, maksudku kantor pajak.
"Di atas, di lantai dua!" jawab ompung.
Sekalian jalan-jalan keliling kota, aku teringat teman seangkatan, Nuraeni Hasibuan yang mengatakan di Padangsidempuan ada pula Toko Matahari. Aku minta ompung mengantar ke sana. Kusebutkan alamatnya seperti yang disebutkan Nuraeni. Ompung menaikan alisnya mendengar alamat yang kusebut. Tetapi dia bilang akan dicarinya.
Sampailah kami di Jalan Imam Bonjol, Padangmatinggi.
"Inilah toko yang disebutkan kawanmu itu!" kata ompung setelah memarkirkan Datsun tuanya di depan sebuah bangunan yang terbuat dari papan beratapkan seng berwarna coklat berkarat.
Aku melongok keluar dari jendela mobil. Kutengok di bawah kanopi bangunan itu menggantung papan nama: Toko Matahari. Di bagian bawahnya tertulis: menyediakan berbagai material bahan bangunan.
Tidak ada eskalatornya, pikirku.
#salam