Mohon tunggu...
Johani Sutardi
Johani Sutardi Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Bankir Tinggal di Bandung

Hidup adalah bagaimana bisa memberi manfaat kepada yang lain

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Memalukan, Pengalaman Pertama Menumpang Pesawat Terbang

5 Maret 2021   16:54 Diperbarui: 6 Maret 2021   19:11 1639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay

Cerita pengalaman pertama kali naik pesawat terbang, bahkan masuk ke Bandara Soekarno Hatta sekalipun belum pernah, tanpa bertanya sana-sini kepada siapa pun mungkin terdengar sangat lucu, menghibur sekaligus konyol.

Tetapi, aku tidak ingin mendengarnya paling tidak untuk saat ini. Bagiku ini sangat memalukan, memilukan, dan konyol (juga). Lebih-lebih, sialnya ini kualami sendiri.

Napas memburu saat duduk di kursi penumpang sambil berusaha memakai sabuk pengaman yang tak kunjung berbunyi "klik" rasanya ingin menjerit, tetapi mulut tercekat. Ini pengalaman sangat traumatis.

Bagaimana napas tidak "ngos-ngosan" kalau harus berjalan dengan setengah berlari dari konter check in tiket sampai ke pintu pesawat melalui lorong yang begitu panjang sambil menyeret tas dan menggendong bayi. Istriku lebih parah lagi. Berjalan cepat menggunakan sepatu hak tinggi tentu tidak nyaman.

Akhirnya di lorong itu ia berjongkok untuk melepas sepatunya. Tetapi pramugari dengan rok sebetis tetapi dibelah sampai di bawah paha itu, berperilaku seperti kernet angkot dikejar setoran meminta berjalan lebih cepat lagi.

Walhasil istri saya segera bangkit dan berjalan tertatih tatih. Tangan kanan memegang sepatu sedangkan sepatu kirinya masih melekat di kaki. Sampai duduk di kursi penumpang pun ia masih memegang sepatu sebelah. Ketika melihat penumpang di sebelahnya melilitkan sabuk pengaman di tubuhnya, ia menempelkan sepatu itu di dadanya.

Ini adalah kecemasan yang berlanjut setelah menerima SK penugasan sialan itu. Saat yang lain sibuk mencari sepatu model apa yang akan dikenakan pada hari kerja pertama, aku masih memikirkan bagaimana aku bisa sampai di unit kerja.

Beruntung kawan Robert Sitinjak, asal Medan yang ditugaskan di Surabaya, mau menolong kami seperti malaikat yang dihadirkan Tuhan kepada makhluknya yang sudah lelah berdoa.

Ia memandu kami mulai dari mencarikan agen tiket pesawat, memberi tumpangan sementara di rumah orang tuanya di Medan bahkan mengkontak Ayahnya yang dosen USU untuk menghubungi mahasiswanya di Padangsidempuan untuk menyambut kami di sana sekaligus memberi tumpangan sebelum mendapat rumah kontrakan.

Sementara itu Nuraini Hasibuan, asal Jakarta yang ditugaskan di kantor pusat (beruntung sekali dia), mengaku kakek buyutnya berasal dari Tapanuli Selatan menyampaikan kabar gembira.

Semalam ia telpon ompungnya di Padangsidempuan di sana ada Toko Matahari katanya. Aku semakin lega rasanya. Aku teringat Matahari Departemen Store Singosaren, toko swalayan yang tidak jauh dari tempatku kos di Tipes, Solo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun