Mohon tunggu...
Johanes Tarigan
Johanes Tarigan Mohon Tunggu... Konsultan - Pelajar dan Penyuka Politik

Pelajar dan Penyuka Politik ||Pelajar dan Penyuka Politik||

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Analisisku tentang Peristiwa 22 Mei, dari Perspektif Sosiologis

13 Agustus 2019   20:29 Diperbarui: 13 Agustus 2019   22:31 1378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Kerusuhan 21-22 Mei menjadi salah satu titik panas dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Sekumpulan oknum masyarakat beradu fisik dengan aparat penegak hukum, yang kala itu tergabung antara TNI-Polri. Kerusuhan tersebut terjadi di depan kantor Badan Pengawas Pemilu, Pertamburan Tanah Abang, dan Slipi, pada pukul 23.00 hingga pukul 3.00 keesokan harinya.

Adu fisik antara oknum masyarakat dengan pihak TNI-Polri tersebut sejatinya terjadi pasca demonstrasi yang dilakukan oleh barisan pendukung pasangan calon 02 Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto dan Sandiaga Sallahudin Uno.

Aksi yang dimulai secara damai sejak pukul 10.00 pagi tersebut mulai memanas saat malam semakin larut. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 6, yang dimuat dalam Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2008, unjuk rasa hanya diperbolehkan hingga pukul 18.00 WIB.

Dalam konteks unjuk rasa yang terjadi pada tanggal 21-22 Mei, pihak kepolisian memutuskan untuk memberikan diskresi bagi massa, sehingga diizinkan untuk berunjuk rasa hingga pukul 21.00 WIB.

Hal ini dilakukan untuk memberikan keleluasaan bagi para demonstran untuk melaksanakan salat Terawih secara berjamaah, mengingat bahwa kejadian terjadi pada saat Bulan Ramadan.

Massa pun secara bertahap membubarkan diri. Akan tetapi, pada saat pukul 23.00 WIB, sebagian massa memutuskan untuk tetap bertahan di depan kantor Bawaslu.

Sebagai upaya pembubaran, pihak Polri yang didukung pasukan TNI mulai menggunakan water cannon dan gas air mata untuk memecah massa. Sejak tahap ini, kejadian mulai memanas. Terjadi bentrokan antara massa pengunjuk rasa dengan pendemo. Pada saat berhasil dibubarkan di pukul 02.45 WIB (keesokan harinya), sekitar 200 massa misteriusmuncul dan mulai melakukan tindakan anarkis dan provokatif terhadap aparat keamanan. Aparat pun tidak tinggal diam.

Namun, massa mulai melempari aparat dengan batu dan petasan. Karena ditekan aparat, massa pun mundur dan lanjut menyerang markas brimob. Puluhan mobil, baik mobil dinas maupun pribadi, dibakar.

Barulah pada pukul 5.00 WIB, kerusuhan dapat dihentikan dan massa provokator dapat ditangkap. Per tanggal 24 Mei 2019, sudah 441 orang yang diduga menjadi provokator berhasil ditangkap. Penyelidikan masih berlangsung. 

Konflik yang terjadi dalam kerusuhan 21-22 Mei dapat dipetakan berdasarkan panduan Hugh Miall dan Amr Abdalla. Keduanya mengangkat inti pihak yang bertikai sebagai faktor utama dalam pemetaan konflik. Secara awam, konflik ini terjadi di antara pihak pengunjuk rasa dengan pihak aparat keamanan gabungan TNI-Polri.

Akan tetapi, Hugh Miall menggunakan frase inti. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa yang menjadi inti pihak bertikai adalah Tim Paslon 02 dan Negara.

Hal ini dapat dilihat dari isu-isu/persepsi yang digaungkan oleh Tim Paslon 02 bahwa Tim Paslon 01, yang notabenenya adalah petahana, menggunakan wewenang kekuasaannya yang ada di pemerintahan untuk memenangkan kontestasi Pilpres 2019, yang muncul akibat persoalan politik, di mana Paslon 02 tidak mau menerima hasil putusan KPU yang memenangkan Paslon 01. Hal tu menunjukkan hubungan diantara kedua pihak yang bertikai, di mana pihak 02 menjadi subjek hukum pihak Negara (KPU).

Dari isu besar ini, munculah isu bahwa aparat tidak netral dan pemerintah represif terhadap lawan politiknya. Pihak oposisi juga beberapa kali menyamakan pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan pemerintahan Soeharto yang dinilai tidak transparan dan otoriter. Oleh sebab itu, digaungkan pula isu bahwa Mahkamah Konstitusi tidak dapat dipercaya. Isu ini disampaikan oleh salah satu politisi senior partai Gerindra, Fadli Zon, yang menyampaikan bahwa 'enggak ada gunanya' membawa bukti kecurangan Pilpres ke MK.

Dari titik permasalahan inilah muncul isu untuk menggerakan 'People Power' yang diprakarsai oleh Amien Rais. Pernyataan inilah yang kemudian berujung pada unjuk rasa yang melibatkan kerusuhan pada tanggal 21-22 Mei.

Dari sini dapat dilihat dengan jelas bahwa pihak 02 dan aparatur negara -lah yang menjadi pihak inti konflik. Massa pengunjuk rasa, dari kejadian 22 Mei, dapat diketahui bertindak agresif terhadap kepolisian/aparat gabungan.

Di sisi lain, Polisi bertindak defensif, dengan mengutamakan pendekatan-pendekatan humanis, hingga akhirnya memukul mundur massa pada saat benar-benar diperlukan. Massa yang berunjuk rasa sejatinya adalah subkelompok internal dari massa pendukung Paslon 02 dan pihak Polri adalah representasi kehadiran negara.

Pun demikian, massa yang berbentrokan dengan pihak polri, selain dari pengunjuk rasa, ini berulang kali dinyatakan sebagai massa misterius. Hal ini dikarenakan massa tersebut tidak berasal dari pengunjuk rasa lainnya. Pada saat ditangkap, Kombes Pol. Hengki Haryadi, Kapolres Metro Jakarta Barat, mengungkapkan bahwa polisi menemukan amplop yang berisikan uang dengan nama pihak terkait. Lebih lagi, polisi mengungkapkan bahwa ditemukan uang Rp5000000 yang diduga menjadi uang operasional, sehingga diketahui bahwa massa ini adalah massa bayaran. Pihak yang mendalangi kerusuhan belum juga diungkap.

Akan tetapi, salah satu rekaman kamera pengawas menunjukkan bahwa amplop tersebut diberikan oleh beberapa orang yang terdapat dalam ambulans berlogokan partai Gerindra, yang notabenenya adalah partai tim Paslon 02. Konflik yang diwujudkan dalam kerusuhan ini berdampak pada kerusakan sejumlah fasilitas negara, seperti asrama Brimob, serta terganggunya aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi yang terhenti ini ditandai dengan ditutupnya ribuan kios pasar Mangga Dua pada tanggal 23 Mei 2019.

Konflik ini jelas tak dapat dilepaskan dari elite politik yang bertindak sebagai pimpinan pihak yang berkonflik. Oleh karenanya, dapat digolongkan sebagai konflik politik. Pada kasus ini, pihak pengunjuk rasa terafiliasi dengan pihak 02. Oleh sebab itu, secara tidak langsung dipimpin oleh Prabowo Subianto.

Prabowo Subianto memiliki tujuan yang jelas, yaitu memenangkan kontestasi pilpres 2019. Beliau pun, pada tanggal 16 Mei 2019 didepan publik menolak putusan KPU. Hal inilah yang memengaruhi persepsi pendukungnya.

Hal inilah yang menjadi salah satu kelebihannya, yaitu memiliki massa yang loyal dan siap dikerahkan untuk kepentingan politiknya.

Pihak yang menjadi 'lawan' dalam konflik ini adalah pihak Negara, yang mau tidak mau terafiliasi dengan pihak 01. Pimpinan Paslon 01, dalam hal ini adalah Presiden Petahana, Joko Widodo. Ajakan Joko Widodo untuk menempuh jalur hukum dan mempercayakan perkara pilpres kepada MK ini yang mencegah turunnya massa pendukung paslon 01.

Akan tetapi, pihak 01 tentunya memiliki keterbatasan dalam membatasi isu yang beredar, sehingga kebencian terhadap Paslon 01 menjadi terakumulasi.

Konflik ini termasuk dalam konflik politik (bagian dari penggolongan bentuk konflik Soerjono Soekanto), terjadi akibat adanya perbedaan kepentingan politis.

Pihak 02 memiliki kepentingan untuk mengambil alih kekuasaan, sedangkan Negara memiliki kepentingan untuk melakukan mekanisme demokrasi secara kontistusional, yaitu mengacu pada putusan pihak yang berwenangan. Kepentingan yang berseberangan inilah yang memicu terjadinya konflik. 

Konflik yang terjadi di antara pihak 02 dengan Negara tersebut dapat digolongkan (menurut Lewis A. Coser) sebagai konflik out-group karena terjadi antarkelompok; pihak pendukung Paslon 02 dan aparatur negara. Bila ditilik melalui perspektif Ralf Dahrendorf, konflik yang terjadi ini dapat digolongkan sebagai konflik yang terjadi di antara kelompok yang terorganisasi dan kelompok yang tidak terorganisasi. Dalam hal ini, kelompok yang terorganisasi adalah aparatur keamanan.

Mereka memiliki rantai komando yang jelas dan perintah yang harus diikuti dalam setiap tindakan mereka. Di sisi lain, pihak massa perusuh tidak memiliki struktur keorganisasian, sehingga dapat digolongkan sebagai kelompok yang tidak terorganisasi. Lewis A. Coser juga menyatakan bahwa konflik dapat berbentuk realistis dan non realistis. Kedua bentuk konflik ini dapat terjadi bersamaan, sebagaimana yang terjadi dalam kasus yang diangkat. Konflik realistis di definisikan sebagai kekecewaan individu atau kelompok terhadap sistem dan tuntutan pada hubungan sosial.

Pada kasus ini, kelompok Paslon 02 memiliki kekecewaan terhadap sistem demokrasi di Indonesia, secara spesifik terhadap putusan Pilpres di Indonesia. Hal inilah yang memicu terjadinya konflik yang bersifat realistis. Konflik non-realistis timbul dari kebutuhan pihak tertentu untuk meredakan ketegangan.

Hal inilah yang memicu terjadinya konflik antar massa dan aparat. Akibat munculnya ketegangan yang terjadi akibat kekalahan paslon 02 di kontestasi pilpres, diperlukan suatu alat untuk meredakan ketegangan. Alat yang dimaksud dapat berupa pengkambinghitaman suatu pihak untuk menyalurkan rasa kekecewaan.

Dalam hal ini, pihak 02 mengkambing hitamkan Negara yang dianggap tidak netral terhadap mereka, sehingga mereka dapat kalah. Pun demikian, dalil-dalil yang mereka ungkapkan terbantahkan dan ditolak dalam putusan sidang MK. 

Bila peristiwa ini dibedah dengan menggunakan Dinamika Konflik, kejadian ini dapat dipecah ke dalam 4 bagian menurut Fisher. Tahap yang pertama adalah prakonflik, yaitu munculnya situasi ketidaksesuaian antarpihak. Tahapan prakonflik pada kasus ini dimulai dari putusan KPU yang memenangkan Paslon 01, Joko Widodo dan K.H. Maruf Amin. Pihak 02 tidak menerima putusan ini, kemudian menggaungkan isu ketidaknetralan dan ketidaktransparansi-an proses demokrasi.

Dari tahapan ini timbulah tahap konfrontasi. Konfrontasi didefinisikan sebagai mulainya terbukanya suatu konflik. Tahap konfrontasi dalam kasus ini ditandai dengan digaungkannya isu "menuntut keadilan" karena aparat dinilai tidak netral.

Dari sinilah terjadi aksi massa. Dalam aksi massa, pihak 02 sudah secara fisik 'terkonfrontir' dengan pihak representasi negara, pihak kepolisian dan aparatur keamanan gabungan. Berdasarkan kronologinya, tahapan ini berlangsung dari pukul 10.00 WIB hingga pukul 21.00 WIB. Setelah terjadi tahapan konfrontasi, pihak yang berkonflik akan mengalami krisis.

Tahapan ini adalah puncak terjadinya konflik. Dalam kasus ini, krisis ditandai dengan munculnya kerusuhan, yang terjadi akibat bentrok massa dengan aparat.

Sebagaimana yang telah dijelaskan, bentrokan antara massa dan aparat ini terjadi akibat adanya upaya pembubaran massa yang dilakukan pihak Polri, dengan mengacu pada undang-undang yang berlaku. Polri membubarkan massa secara paksa pada pukul 23.00 WIB. Di tahap krisis ini, massa melempari polisi dengan batu dan petasan.

Lebih lagi, massa juga merusak asrama Brimob dan membakar puluhan mobil yang terparkir. Kerusuhan ini terjadi hingga pukul 3.00 WIB keesokan harinya. Barulah setelah tahapan ini, terjadi peristiwa pascakonflik, yaitu keadaan yang mengakhiri. Peristiwa pascakonflik ini ditandai dengan berhasil ditangkapnya para provokator yang berjumlah 441 orang, dengan uang operasional Rp5000000. 

Menurut Teori Konflik (kekerasan), konflik dan kerusuhan ini dapat dianalisis menggunakan teori faktor kelompok. Teori faktor kelompok menyatakan bahwa individu cenderung membentuk kelompok dengan mengedepankan identitas yang didasari oleh faktor persamaan. Persamaan disini dapat merujuk pada persamaan ras, etnis, suku, antargolongan, agama, dan faktor-faktor diferensiasi sosial lainnya. Identitas yang mendasari pembentukan kelompok inilah yang dibawa dalam berinteraksi sosial dan perbedaan serta benturan antar identitas inilah yang cenderung berakibat pada konflik.

Dalam kasus konflik 22 Mei ini, faktor teori kelompok dapat diterapkan pada pihak Paslon 02. Pertama, kelompok pendukung paslon 02 (pengunjuk rasa) dibentuk dengan mengedepankan persamaan golongan serta afiliasi pilihan politik. Mereka semua memilih Paslon nomor urut 2. Identitas inilah yang dikedepankan dalam interaksi sosial, khususnya politik mereka. Pada saat mereka dinyatakan kalah oleh pemilu, terjadilah benturan antaridentitas.

Benturan disini merujuk pada benturan afiliasi pilihan politik, karena pendukung paslon 02 memiliki stigma bahwa (aparatur) negara terafiliasi dengan paslon 01, sehingga putusan tersebutlah yang menimbulkan benturan. Karena stigma afiliasi inilah, pihak massa perusuh menyerang pihak kepolisian, karena bagian dari negara.

Pada saat kerusuhan, yang mereka bawa adalah identitas mereka sebagai pendukung paslon 02, sehingga mereka percaya bahwa identitas mereka sedang terancam dan yang mereka lakukan adalah upaya untuk mempertahankan identitas dan harga diri kelompok. 

Dari kerusuhan ini, dapat dilihat bahwa yang dikedepankan adalah identitas kelompok, oleh sebab itu dapat dikatakan sebagai konflik out-group. Pun demikian, konflik terjadi akibat adanya isu-isu yang digaungkan, khususnya isu yang ditujukan untuk mendiskreditkan pihak lawan. Dan konflik tidak dapat dilepaskan dari hubungan, perilaku, serta pimpinan pihak-pihak yang terkait.

Konflik yang terjadi pun dapat berbentuk realistis dan non-realistis secara bersamaan, akibat adanya peran keduanya dalam membangun/mengakumulasi konflik.

Selain itu, dalam menganalisis konflik, perlu dilihat dalam skala besarnya, karena pihak-pihak yang terkait dapat diperluas guna menemukan pihak inti.

Pada skala kecil, mungkin hanya ditemukan bentrokan antara polri dan massa, namun dalam skala besar dapat dilihat bahwa konflik terjadi antara paslon 02 dan aparatur negara, sehingga menjadi konflik politik.

Dari segi dinamikanya, tiap tahapan akan terakumulasi hingga sampai ke titik pecahnya konflik: Krisis. Menimbang dampaknya yang besar, terhadap masyarakat maupun kegiatan ekonomi, adalah suatu hal yang penting untuk meminimalisir potensi terjadinya konflik.

Hal ini dapat dilakukan dengan meminimalisir tindakan yang dapat mendiskreditkan orang lain, agar tidak ada yang merasa bahwa harga dirinya terancam maupun timbulnya rasa kebencian antarsatu sama lain. 

Referensi:

  • Carina, J. (2019, August 12). Sidang Kerusuhan 22 Mei, Begini Cerita Polisi soal Terdakwa yang Mengaku Tim Medis di Lokasi Aksi. Retrieved from megapolitan.kompas.com
  • Idhom, A. M., & Prabowo, H. (2019, May 22). Massa Mundur ke Tanah Abang, Polisi Turunkan Water Cannon. Retrieved from tirto.id
  • Meiliana, D. (2019, July 23). Ini Motif Oknum Brimob Lakukan Kekerasan pada Kerusuhan 21-22 Mei. Retrieved from kompas.com
  • Polri Ancam Bubar Paksa Massa Menginap di KPU Jelang 22 Mei. (2019, May 20). Retrieved from cnnindonesia.com
  • Sadikin, R. A. (2019, May 22). Kronologi Lengkap Kerusuhan 22 Mei Dini Hari. Retrieved from suara.com
  • Supriyatna, I. (2019, May 22). Pengamat Ekonomi Prediksikan, Imbas Kerusuhan 22 Mei Hanya Sementara. Retrieved from suara.com
  • Umam, C. (2019, May 15). BPN Tak Akan Bawa Bukti Kecurangan Pemilu ke MK, Fadli Zon: Enggak Ada Gunanya. Retrieved from tribunnews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun