Mohon tunggu...
Johanes Marno Nigha
Johanes Marno Nigha Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Sedang Senang Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Timur Memanggil: Pertarungan Budaya dalam Piring Makan (1)

3 September 2021   23:10 Diperbarui: 3 September 2021   23:24 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screen shoot Timur Bacarita

Semua orang butuh makan. Makanan pada masa kini, selain sebagai kebutuhan primer manusia, juga menandai status seseorang.  Mereka yang terbiasa makan di restoran mahal setiap saat tentu menunjukan perbedaan status tertentu dari mereka yang makan di warung kaki lima pinggir jalan. Gaya hidup ini tentu saja dapat dilihat dengan mudah dalam masyarakat kapitalis. Hidup menjadi tersekat antara ruang kaya dan ruang mereka yang miskin.  Namun sesungguhnya sebelum kapitalisme merambah dunia. Masyarakat di Nusantar telah menyadari bahwa makanan selalu dapat menjadi alat untuk mempersatukan.  Kebiasaan menyantap hidangan secara bersama-sama warga dalam sebuah kampung  pada sebuah perhelatan acara adalah contoh nyata dari tanda bahwa makanan punya aspek politis. Makan bersama semua warga kampung menandakan adanya ruang egaliter. Sebuah ruang kebersamaan dengan makanan sebagai medium perekatnya. Saat makan bersama, semua status terlebur dan masyarakat merasa sebagai satu bagian utuh dalam sebuah ekosistem kehidupan.

Pernyataan ini sesungguhnya tepat untuk meringkas keseluruhan bincang tematik Timur Bacarita malam itu. Semua orang yang lapar butuh makanan, apalagi saat pandemi menerpa seperti saat ini.  Banyak orang lalu mulai mencari makanan sehat. Saya merasa beruntung boleh bergabung untuk mendengar pembicaraan tentang pangan lokal di Indonesia Timur. Saya menyadari identitas ketimuran saya dan kemudian lewat perbincangan ini menjadi sadar lalu bangga dengan identitas ketimuran yang melekat dalam diri.  Sabtu 17 Juli 2021 menjadi momen spesial karena mendengar ide menarik seputar makanan dan aspek-aspek politik di Timur sejak dalam piring makanan kami.

Tulisan ini hanya akan mengulas dua pembicara dari sekian pembicara yang tampil sore itu. Carles Toto dari Papua dan Dicky Senda dari  Nusa Tenggara Timur. Walaupun tentu saja ide-ide pemateri lain cukup kuat saya membatasi diri untuk mengulas dua pembicara ini.

Perbincangan malam   itu dimulai oleh Carles Toto. Sehari-hari ia dikenal dengan panggilan Cato. Pria Papua yang menyebut dirinya  sebagai seorang Food Storyteller menceritakan usahanya mengangkat bahan makanan lokal sejak tahun 1997. Usahanya dibarengi dengan pendataan makanan lokal dan membuat peta makanan lokal (Food Mapping) di daerahnya. Cato lalu bereksperimen untuk mengolah berbagai jenis masakan dengan bahan-bahan yang khas Papua. Mulai dari pembuatan  Pizza dengan bahan dasar sagu sampai pada pemetaan kulit kayu dan tumbuhan lainnya sebagai aroma tematik dalam makanan. Semuanya ia buat  melalui eksplorasi pada hutan-hutan Papua.  Salah satu hal yang khas dari presentasi Cato adalah kesadarannya bahwa hutan Papua sesungguhnya adalah pasar gratis  bagi orang Papua.  Ia menegaskan bahwa saat masyarakat Papua memasuki hutan mereka,  uang sebagai alat tukar tidak dibutuhkan lagi.  Masyarakat tinggal mengambil apa yang mereka butuhkan dan mengolahnya. Hal ini karena alam telah menyediakan semua hal bagi masyarakat Papua.

Sedangkan dalam soal teknik pengolahan makanan, masyarakat tradisional sudah paham tentang apa itu efektivitas. Carles lalu memberi contoh dari hasil pengamatan mendalamnya. Ia mengangkat tradisi bakar batu masyarakat Papua. Proses ini sebenarnya mau mengungkapkan betapa majunya masyarakat tradisional Papua kala itu. Memasak dengan metode Three in one. Sekali memasak, ada tiga hingga sekian produk masakan yang dihasilkan dalam aktivitas memasak.

Proses memasak dalam tradisi bakar batu dibuat antara lain pada layer/lapisa pertama dan paling atas adalah lapisan untuk menaruh daging. Tujuannya agar saat proses  memasak,  minyak daging dapat tercurah ke lapisan berikutnya yaitu sayur. Pada bagian paling bawah ada umbi-umbian. Tiga jenis ini sudah ada dalam satu wadah.

Pengalaman kehancuran  hutan-hutan di Papua untuk proyek Food Estate sesungguhnya mematikan cukup banyak hal mendasar tentang hidup orang Papua. Kehadiran Carles dan kerja-kerja pengarsipannya, sesungguhnya membangkitkan kepercayaan sekaligus kesadaran masyarakt Papua untuk menjaga hutan dan tradisi mereka. Pada akhir presentasi Carles saya  menemukan adanya  kekuatan besar yang sedang dibangun dalam kerja pengarsipannya.  Kekuatan ini sekaligus dapat memantik gerakan politik besar bila diolah dengan baik, terutama untuk menyadarkan masyarakat Papua akan identitasnya. Semuanya berawal dari kesadaran tentang  isi piring makan mereka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun