Mohon tunggu...
Johanes Marno Nigha
Johanes Marno Nigha Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Sedang Senang Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Digital: "Aku Update Maka Aku Ada"

1 September 2021   15:59 Diperbarui: 1 September 2021   16:14 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya digital hari ini telah mengubah banyak hal. Salah satu perubahan yang sangat berpengaruh adalah perubahan realitas dan imajinasi. Saya membayangkan kejadian sepuluh atau dua puluh tahun nanti. Apabila ada yang  bertanya pada anak SD tentang apa yang ia bayangkan tentang ruang kelas. Mungkin  jawaban yang akan diterima berbeda sekali. Jika pada masa sebelumnya membayangkan ruang kelas adalah suatu ruangan dengan guru yang mengajar dan sekumpulan siswa yang memperhatikan pengajaran, maka ruang kelas di masa-masa selanjutnya bisa jadi adalah sebuah laptop, atau gawai dan teman hanya bisa dilihat di Room Chat.

Dimensi tertentu yang dulu hanya bisa dicapai lewat jangkauan pertemuan fisik, investasi waktu untuk mendekatkan jarak lalu berubah secara berangsur-angsur lewat budaya digital. Situasi ini kemudian berdampak pada satu pertanyaan penting. Bagaimana menjadi manusia produktif dalam situasi seperti ini.

Pada akhirnya menjadi manusia produktif dalam budaya digital, orang kemudian diajak masuk dalam bangunan pemikiran tentang ekonomi. Produk selalu berhubungan dengan pasar dan masyarakat. Identitas atau karakter masyarakat inilah yang kemudian selalu dipertanyakan. Bagaimana melihat karakter dan masyarakat di dunia virtual ini?

Saya kemudian menjadi paham akibat persentuhan dengan dunia virtual. Beberapa keponakan  kemudian menjadi sangat gandrung dengan K-Pop. Belajar bahasa Korea, senang dengan artis-artis Korea dan merasa menjadi bagian di dalamnya. Sebagian lagi gandrung dengan membuat musik Rap, atau podcas-podcas kreatif dengan harapan bisa mendulang nama, fans dan tentu saja uang.

Dunia virtual menemukan dirinya dipenuhi dengan lonjakan perkembangan sekaligus mudah dilipat. Salah satu contohnya adalah lipatan dalam bidang bahasa. Bahasa di sosial media misalnya, hari-hari ini apabila anda memosting sesuatu di media sosial, ada sejumlah batasan di sana. Kata-kata yang dipakai misalnya hanya boleh 100, 500, 1000 atau 5000 kata. 

Bahasa yang dikenal dulunya adalah kalimat namun dalam budaya digital mencair dan menjadi medium modifikasi. Bahasa tidak lagi hanya kalimat, ia bisa saja berupa meme, pos card atau lainnya. Di satu sisi modifikasi bahasa menghasilkan ringkasan dalam berbahasa tapi di sisi lain menimbulkan perluasan. Banyak orang  mungkin tidak suka membaca sesuatu yang panjang sehingga  kebutuhan akan sesuatu yang ringkas dan praktis selalu diusahakan.

Aplikasi bantuan seperti tiktok atau aplikasi serupa kemudian menjawab kebutuhan akan konteks-konteks ini. Salah satu saudari saya sangat aktif menggunakan aplikasi tiktok. Penggunaan aplikasi selain hiburan sebenarnya memaksakan penggunanya dalam latar yang lain. Aplikasi tersebut atau aplikasi lain sejenis pada saat yang sama  meringkas bahasa (misalnya tentang hiburan) namun di sisi lain menimbulkan perluasan makna.

Hiburan seperti lelucon-lelucon segar misalnya pada masa sebelum pandemi selalu dibutuhkan pada saat-saat jenuh setelah lelah bekerja. Pribadi-pribadi tertentu memiliki karakter sebagai penghibur dalam keluarga atau tempat kerja. Mereka sering membuat suasana baik tempat kerja maupun relasi keluarga semakin akrab dan cair. Kerinduan ini kemudian mesti dikendalikan karena penjarakan sosial akibat pandemi. Orang-orang tertentu dengan bakat humor yang baik  lalu beralih kepada aplikasi untuk sekedar menuangkan bahasa hiburan ke dalamnya di masa pandemi.

Hal lain yang berdampak adalah soal pelipatan jarak. Dalam hal ini  proses  mengakses kegiatan tertentu menjadi lebih singkat karena kondisi pelipatan jarak dalam budaya digital ini. Masyarakat bertemu dalam aplikasi pertemuan seperti zoom atau google meet dan lain sebagainya. Di sana terasa sekali adanya keterbatasan akan kehadiran yang utuh. Aspek-aspek sosial yang dulunya hadir dalam pertemuan fisik menjadi terkikis.

Pada masa sebelum pandemi, kehadiran sosila berarti melibatkan kehadiran fisik. Ada orang yang hadir secara fisik dan menuntut interaksi fisik sekaligus kehadiran spiritual. Budaya digital lalu menggerusnya, dalam pertemuan virtual misalnya, orang tidak perlu tampil secara fisik dan spiritual. Kadang hanya perlu mematikan layar kamera dan menampilkan foto profil. Tampilan tidak menuntut adanya interaksi fisik dan spiritual. Hal yang dialami kemudian adalah tentang pelipatan dalam ranah spiritual.

Membayangkan Masyarakat Virtual

Ada satu hal  penting yang mencolok dan  kemudian dibuka oleh budaya digital ini yaitu soal partisipasi. Dalam budaya digital di ruang virtual misalnya seorang individu dapat berpartisipasi dalam hal apa saja. Sumber dan proyeksi tidak lagi terpusat karena asal ada kuota internet maka obrolan dan relasi bisa berlangsung dengan lancar. 

Kesan lokal di Kupang, atau Lokal di Bajawa bisa terkoneksi dengan lokal di Amerika atau Perancis. Kampus IAKN Kupang bisa terhubung dengan Kampus bergengsi di Amerika atau Inggris. Semua bisa terhubung dalam hobi, contohnya komunitas pencinta alam atau komunitas pencinta barang purbakala atau komunitas intelektual tertentu. Di sana komunikasi menjadi termediasi walaupun tetap butuh usaha penting untuk mempelajari transparansi masyarakat virtual. Hal ini disebabkan karena masyarakat virtual hampir pasti menghadirkan berbagai hal dan nilai bisa tanpa rujukan hukum dan otoritas.

Kembali soal berproduksi atau beraktivitas dalam budaya digital. Masyarakat dalam budaya digital seringkali terpetakan dalam situasi pasar. Interaksi di pasar secara jelas dibangun oleh produksi-produksi dan serapan konsumsi tertentu. Sebagai dosen misalnya saya tentu saja membutuhkan konten-konten perkuliahan yang menarik agar mampu diserap mahasiswa. Atau sepupu saya yang suka membuat musik Rap perlu memikirkan hal yang sama. Pembayangan akan pasar yang dimasuki seperti apa ini membantu kita semua agar tidak terseret dalam pusara budaya digital.

Membayangkan pasar digital sesederhana memasuki sebuah pasar di dunia nyata. Meski dalam konteks virtual, di sana tetap ada komoditas yang dijual, ada produsen, ada konsumen, modal ekonomi maupun sosial, karakter komunikasi transaksional, juga karakter komunitas.

Meminjam analisis filsuf Bordeu, secara pribadi mudah mengidentifikasi siapa pasar pertama saya. Contoh kecil saat memikirkan tulisan ini. Kepada siapa nantinya akan dibagi pertama kali sudah dengan sendirinya muncul di kepala. Tentu saja pasar pertama saya adalah orang-orang terdekat, grup tertentu, teman dekat.  Ada semacam modal kultural bagaimana menciptkan karya dalam budaya digital. Hal ini tentu  sangat berbeda dengan model konvensional masa lalu.

Pertanyaan kemudian yang muncul yaitu tentang apakah kita benar-benar bebas dalam budaya digital ini? Seringkali orang hanya terjebak dalam suatu tren tertentu. Naluri semata ada karena desakan gairah ekonomi. Produksi konten dibuat karena ilusi konten semata sebab ada desakan untuk lekas berpindah dan bergerak secara cepat. 

Kebaruan yang satu ditampik oleh kebaruan lainnya. Masyarakat lalu mudah terjebak pada penciptaan kebutuhan. Semua orang yang masuk dalam medan budaya digital merasakan ilusi yang sama yaitu kecenderungan akan kebutuhan untuk selalu up date. Aku up date maka aku ada. Ada ilusi untuk selalu berusaha tampil up date, meski di sana muncul negosiasi kuat antara kecepatan untuk berubah dan kedalaman yang bisa diperoleh.

Budaya digital memancing keluar begitu banyak aktivitas seperti pembuatan konten. Namun disayangkan ada begitu banyak konten tanpa isi mendalam. Banyak hal kemudian dikomodifikasi menjadi konten. Alam dan berbagai ragam hal menjadi konten. Semua orang bisa menjadi pakar dan berbicara tentang apa saja. Riset, pengamatan dan analisis menjadi nomor sekian sebab semua data bisa diperoleh dari mana saja bahkan bisa dibuat.  Pada titik inilah kita seperti sedang terseret dalam budaya digital. Perlu sedikit usaha untuk berhati-hati menyikapinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun