Mohon tunggu...
Johanes Marno Nigha
Johanes Marno Nigha Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Sedang Senang Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada yang Hilang di Atas Panggung Pertunjukkan

31 Agustus 2021   08:06 Diperbarui: 31 Agustus 2021   08:13 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana seorang penonton menikmati sebuah pertunjukan? Semisal menonton seni pertunjukan musik etnik di masa pandemi?

Pertanyaan pribadi ini mungkin juga menjadi pertanyaan para penonton lain di masa pandemi. Menjadi penonton seni pertunjukan baik itu seni musik, teater maupun tari pada masa sebelum pandemi punya kenikmatan tersendiri. 

Sebagai penonton berbagai pertunjukkan, saya selalu menyukai interaksi-interaksi yang terbentuk dalam sebuah ruang pertunjukkan. Pada umumnya ada jarak yang terbangun antara penonton dan para aktor di panggung.

Meskipun ada ruang pembatas antara panggung dan penonton, tetap saja ada rasa kedekatan yang terbangun. Para penonton dapat langsung merasakan suasana sekitar. Seperti keriuhan, kedekatan, suara-suara dan juga persiapan untuk menonton pertunjukkan. 

Selain itu penonton dapat melihat langsung para aktor mempersiapkan diri, menampilkan diri di atas panggung serta melihat panggung-panggung dipersiapkan atau pun menyaksikan kegiatan setelah pertunjukkan selesai dibuat. Semua energi ini bisa dirasakan secara utuh dalam sebuah ruang pertunjukkan.

Pandemi kemudian memaksa para penonton untuk meninggalkan kebiasaan menonton lama mereka. Pertunjukkan yang tadinya dapat ditonton secara langsung dan bersama-sama dalam ruang-ruang tertentu, serta melibatkan sekian banyak orang, berangsur-angsur ditiadakan. 

Ada suasana yang hilang saat penonton seperti saya dipaksa untuk menonton format pertunjukkan lewat internet melalui Zoom, YouTube atau berbagai ragam aplikasi lainnya. Ada sesuatu yang kurang di sana. 

Salah satu bagian yang kurang dan terasa hilang adalah persoalan kedekatan antara penonton dan aktor di panggung pertunjukkan. Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana dengan pola produksi baru ini. Apa hambatan yang diperoleh para aktor saat persiapan produksi pertunjukkan itu sendiri?

Kelompok Musik Nusa Seni di Kupang

Sebagai contoh langsung yang saya miliki yaitu tentang pengalaman menyaksikan pertunjukkan kelompok musik etnik di kota Kupang yang menamakan dirinya kelompok Musik Nusa Seni. 

Pada awalnya sebagai penikmat pertunjukkan seni, selalu bermunculan berbagai macam pertanyaan tentang apa saja persiapan yang akan dibuat, atau ide dan gagasan filosofis dibalik sebuah pementasan karya atau calon karya tertentu. 

Apalagi hal ini dibuat pada masa pandemi. Secara dekat saya mengenal kelompok ini karena alasan istri saya adalah bagian dari anggota tim kelompok.

                                                                                            

Setiap sore selama dua minggu penuh pada bulan Agustus 2021, saya mengantar istri ke tempat latihan yang telah ditentukan. Pada umumnya latihan bersama dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. Semua anggota berusaha untuk menerapkan protokol kesehatan seperti mencuci tangan, menjaga jarak, seperti biasanya.

Kelompok ini sebenarnya mempunyai sejumlah besar anggota lain. Alasan menghasilkan karya untuk lomba kemudian memangkas sebagian besar anggota karena aturan lomba yang dimaksud. 

Selanjutnya sepuluh orang kemudian dipilih untuk maksud ini. Ada Pak Jeff Kabnani, Kakak beradik, Emil dan Gloria, BuRiko pemain Sasando, Roki penabuh Tambur, pak Bayu Saxo modifikasi, Hardi, Riko, Jefri, dan istri saya sendiri, Iin.

Entah karena kerinduan yang mendalam untuk berkumpul dan menghasilkan karya untuk pertunjukkan musik etnis, atau hal internal  lain tapi satu yang pasti terlihat dalam proses latihan yaitu adanya semacam energi para seniman untuk mencoba mengakali situasi pandemi agar tetap berkarya.

Selama latihan saya menjadikan diri sebagai pengamat. Satu hal yang terbentuk dalam diri dan terasa mengasyikan karena keseringan menonton pertunjukkan. Latihan demi latihan, perubahan demi perubahan, juga penyesuaian demi penyesuaian terlihat secara jelas saat latihan kelompok berlangsung. Sebagaimana lazimnya sebuah proses produksi kesenian.

Pada akhir dari proses latihan yang memakan waktu, tenaga dan tentu saja biaya, perasaan janggal dan aneh memenuhi diri saya pada hari puncak pertunjukkan. Tidak ada penonton kecuali kamera-kamera yang dipakai untuk merekam. Penampilan disuguhkan sekaligus kondisi serta situasi yang terbangun persis seperti saat latihan. 

Ada pengulangan di tengah pengambilan gambar yang tentu saja tidak mungkin terjadi saat pementasan puncak pada masa normal. Hal mencolok yang membedakan adalah properti seperti baju adat dan make-up serta perlengkapan tertentu untuk pertunjukan sebenarnya.

Dokumen Pribadi Kelompok Musik Nusa Seni
Dokumen Pribadi Kelompok Musik Nusa Seni

                                                                                            

Ada semacam keanehan yang tidak biasa bagi penonton seperti saya. Terlihat sekali perbedaan yang cukup mencolok antara logika panggung, logika kamera dan logika internet itu sendiri dari sudut penampilan kelompok Musik Nusa Seni di Kota Kupang ini. Sebagai penonton yang masih bernostalgia tentang sebuah acara pertunjukkan di masa sebelum pandemi, ada perasaan kehilangan. 

Menjadi penonton saat sebelum pandemi, hanya mengenal satu logika saja yaitu logika panggung. Ada pertunjukkan, ada penonton, ada suasana khas panggung dalam hal ini panggung prosenium dan suasana yang mengalir di dalamnya. Interaksi kedekatan antara penonton dan  aktor di panggung memunculkan keterikatan emosional tertentu seperti kedekatan ruang, waktu dan intensionalitas.

Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi kepala. Seperti bagaimana penonton dipaksa melihat sudut-sudut pementasan hasil settingan kamera? Di sana yang akan muncul tentu saja sudut pandang tangkapan kamera pada layar. 

Sudah pasti logika panggung tempat penonton bebas melihat sudut aktornya dari sisi apapun menjadi terbatas karena sudah dipaksa melihat dalam format layar yang ditangkap kamera. 

Selain itu tentang logika internet. Bagaimana jadinya apabila penonton pada akhirnya terganggu karena masalah jaringan internet saat menonton pertunjukkan? Satu hal yang akan membuat penikmat pagelaran seni seperti saya akan lebih banyak menggaruk kepala karena sedikit terganggu.

Saya bukan ahli yang berusaha menjawab masalah-masalah pelik ini. Sebagai penonton pertunjukkan saya sadar bahwa perlu adaptasi baru untuk menonton pertunjukkan apapun dalam format tiga logika di atas dalam waktu yang bersamaan. Pada saat yang sama,  saya tetap percaya pada energi-energi tertentu yang telah saya lihat contohnya dalam latihan-latihan kelompok ini.  

Tentu saja ada banyak kelompok kesenian yang berusaha tetap berkarya untuk mengakali situasi pandemi ini. Jika membaca sejarah terlihat bahawa para seniman sepanjang sejarah mengalami semacam turbulensi yang sama. Pada masa lalu kemunculan televisi cukup mengganggu kenyamanan pertunjukkan seni gaya prosenium dengan logika panggung yang dimaksud. 

Namun ternyata dengan adanya turbulensi ini para seniman dipacu untuk melihat kemungkinan-kemungkinan lain bagi tetap eksisnya karya mereka. Pertunjukkan di televisi ataupun internet tetap digandrungi, namun tetap saja tidak pernah menggantikan pertunjukan dalam format panggung prosenium ini. Saya percaya pertunjukkan seni itu seperti satu napas dengan kehidupan. Seni tanpa turbulensi yang  bermuara pada  refleksi tak pantas dinikmati. Proficiat untuk kelompok Musik Nusa Seni Kupang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun