Â
Ada semacam keanehan yang tidak biasa bagi penonton seperti saya. Terlihat sekali perbedaan yang cukup mencolok antara logika panggung, logika kamera dan logika internet itu sendiri dari sudut penampilan kelompok Musik Nusa Seni di Kota Kupang ini. Sebagai penonton yang masih bernostalgia tentang sebuah acara pertunjukkan di masa sebelum pandemi, ada perasaan kehilangan.Â
Menjadi penonton saat sebelum pandemi, hanya mengenal satu logika saja yaitu logika panggung. Ada pertunjukkan, ada penonton, ada suasana khas panggung dalam hal ini panggung prosenium dan suasana yang mengalir di dalamnya. Interaksi kedekatan antara penonton dan  aktor di panggung memunculkan keterikatan emosional tertentu seperti kedekatan ruang, waktu dan intensionalitas.
Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi kepala. Seperti bagaimana penonton dipaksa melihat sudut-sudut pementasan hasil settingan kamera? Di sana yang akan muncul tentu saja sudut pandang tangkapan kamera pada layar.Â
Sudah pasti logika panggung tempat penonton bebas melihat sudut aktornya dari sisi apapun menjadi terbatas karena sudah dipaksa melihat dalam format layar yang ditangkap kamera.Â
Selain itu tentang logika internet. Bagaimana jadinya apabila penonton pada akhirnya terganggu karena masalah jaringan internet saat menonton pertunjukkan? Satu hal yang akan membuat penikmat pagelaran seni seperti saya akan lebih banyak menggaruk kepala karena sedikit terganggu.
Saya bukan ahli yang berusaha menjawab masalah-masalah pelik ini. Sebagai penonton pertunjukkan saya sadar bahwa perlu adaptasi baru untuk menonton pertunjukkan apapun dalam format tiga logika di atas dalam waktu yang bersamaan. Pada saat yang sama, Â saya tetap percaya pada energi-energi tertentu yang telah saya lihat contohnya dalam latihan-latihan kelompok ini. Â
Tentu saja ada banyak kelompok kesenian yang berusaha tetap berkarya untuk mengakali situasi pandemi ini. Jika membaca sejarah terlihat bahawa para seniman sepanjang sejarah mengalami semacam turbulensi yang sama. Pada masa lalu kemunculan televisi cukup mengganggu kenyamanan pertunjukkan seni gaya prosenium dengan logika panggung yang dimaksud.Â
Namun ternyata dengan adanya turbulensi ini para seniman dipacu untuk melihat kemungkinan-kemungkinan lain bagi tetap eksisnya karya mereka. Pertunjukkan di televisi ataupun internet tetap digandrungi, namun tetap saja tidak pernah menggantikan pertunjukan dalam format panggung prosenium ini. Saya percaya pertunjukkan seni itu seperti satu napas dengan kehidupan. Seni tanpa turbulensi yang  bermuara pada  refleksi tak pantas dinikmati. Proficiat untuk kelompok Musik Nusa Seni Kupang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H