Korea Selatan sudah sejak lama merencanakan pemindahan ibu kota. Mereka mulai membangun Ibu kota baru yang terletak di kota Sejong dari tahun 2007. Kota ini berjarak 120 km ke arah selatan dari Kota Seoul. Pertanyaannya, mengapa mereka ingin memindahkan ibu kotanya?
      Jika kalian sudah melihat dan mengetahui bagaimana sisi gelap Korea Selatan, maka Anda harus mengetahui bahwa Seoul lah akar dari semua permasalahan ekonomi dan sosial yang ada di Korea Selatan. Hah... kok bisa seperti itu?
      Kehidupan Korea Selatan memang tidak seindah di drama-drama. Sejak kecil, anak-anak dituntut oleh orang tuanya untuk pintar. Maksud dari orang tua di Korsel ini baik, yaitu untuk mempersiapkan anaknya agar bisa hidup layak ke depannya karena hidup di Korea Selatan susah dan penuh tekanan. Anak-anak dipaksa belajar dengan keras, les sampai malam setiap hari, sampai mereka stress. Tidak sedikit pula kasus ditemukannya anak-anak di Korea Selatan yang bunuh diri karena tuntutan dari orang tuanya.
      Tujuan dari semua ini adalah supaya anak-anak bisa bersaing untuk masuk ke universitas favorit yang persaingannya super ketat. Universitas favorit akan mempermudah mereka mencari kerja. Tapi setelah lulus pun, ternyata mereka harus bersaing ketat karena dapat kerja di sana juga susah.
      Sudah dapat kerja pun mereka harus bekerja keras. Sudah bekerja keras, gajinya ngepas. Mereka jadi ga mikir nikah, apalagi punya anak karena mereka tahu kedua hal itu sangat mahal. Fertility rate di Korea menjadi sangat rendah, hanya sebesar 0,78 per wanitanya (terendah kedua di dunia). Karena mereka gamau punya anak dan berkeluarga, orang-orangnya hidup dibawah tekanan, stress, dan kesepian.
      Semua ini berakar pada satu masalah yang menjadi pusat dari segala kesulitan hidup di Korea Selatan, yaitu tingginya biaya hidup. Biaya hidup yang tinggi ini terjadi karena sebagian besar warga korea terkungkung dalam satu wilayah yang sama, disebut "The Great Seoul".
      Â
The Great Seoul ini terdiri dari 3 first tier administrative di Korea Selatan, yakni Ibu Kota Seoul, Provinsi Gyeonggi, dan Kota metropolitan Incheon. Total penduduk di wilayah ini berjumlah 26 juta orang. Padahal, jumlah penduduk Korea Selatan adalah 51 juta orang. Jadi, bisa dibilang 50,9% warga Korea Selatan tinggal di wilayah The Great Seoul.
      Â
Efek paling nyata dari kepadatan penduduk di wilayah The Great Seoul adalah mahalnya tempat tinggal di sana. Data dari Statista pada bulan Mei 2024 diatas, menunjukan bahwa harga apartemen di Seoul per meternya sebesar 12,68 juta won atau setara dengan Rp146 juta per meter persegi. Diposisi kedua termahal adalah harga apartemen di wilayah Gyeonggi, yakni sebesar 6,43 juta won.
      Bayangin aja ya, harga apartemen di Kota Seoul dengan yang termahal kedua aja terpaut 2 kali lipat. Ini bukan dengan yang posisi terakhir lho, melainkan yang di posisi kedua. Bahkan, bila kalian ingat, posisi keduanya pun adalah Gyeonggi, salah satu dari tiga wilayah di The Great Seoul.
      Biaya tempat tinggal yang mahal ditambah dengan semakin ramainya Kota Seoul menyebabkan biaya kehidupan lain juga ikut mahal. Yang kasihan adalah orang-orang dan penduduk asli Seoul yang tidak mampu menjangkau biaya hidup di sana.
      Bagi mereka yang tidak mampu untuk membeli atau menyewa apartemen disana, mereka mau tidak mau tinggal di tempat yang bernama Banjiha, yaitu bunker atau ruang bawah tanah yang dijadikan tempat tinggal. Atau kalau mau lebih baik lagi, mereka bisa tinggal di tempat yang bernama Goshiwon, apartemen super kecil yang hanya berisi satu ruangan. Korean Times menyebut ada 150.000 orang yang tinggal di tempat bernama Goshiwon ini di Kota Seoul.
     Â
 Cukup memprihatinkan ya. Kok bisa penduduk Korea Selatan se enggak merata ini?
      Semua ini bermula sejak naiknya presiden ke-3 Korea Selatan, Park Chung Hee pada tahun 1962. Beliau adalah orang yang membuat Korea Selatan menjadi negara maju. Pada masa pemerintahan beliau, Korea Selatan sampai dijuluki sebagai Macan Asia bersama dengan Hongkong, Taiwan, dan Singapura karena pertumbuhan perekonomian mereka.
      Mungkin sudah cukup banyak yang tahu ya mengenai apa yang dilakukan Presiden Park Chung Hee untuk mengubah Korea Selatan dari miskin menjadi kaya seperti sekarang ini. Jadi, aku akan membahas secara singkat aja.
      Intinya Park Chung Hee mikir, dari pada anggaran negara habis dibuat membantu orang miskin, lebih baik anggaran negara digunakan untuk mendukung Chaebol atau Oligarki dan konglomerat Korea Selatan. Tujuannya adalah agar bisnis mereka berkembang, mereka membuka lapangan pekerjaan baru, dan perekonomian Korea Selatan juga ikut berkembang.
      Ide ini akhirnya berhasil membuat korea selatan mengalami industrialisasi luar biasa yang membuat perekonomian mereka jadi maju secara pesat. Brand-brand yang kita kenal saat ini, seperti Samsung, Kia, LG, dan Hyundai merupakan contoh perusahaan-perusahaan yang berkembang akibat ide dari Park Chung Hee ini.
      Â
Namun, masalahnya adalah perusahaan-perusahaan besar yang di bantu Park Chung Hee ini terpusat di Seoul. Faktanya, 15 dari 18 perusahaan terbesar di Korea Selatan saat ini, semuanya berada di The Great Seoul. Pertumbuhan penduduk Kota Seoul juga meningkat pesat sejak kenaikan Presiden Park Chung Hee, yakni naik 2 kali lipat dari 2.445.000 orang di tahun 1960, menjadi 5.537.000 orang di tahun 1970, hingga kemudian menjadi 10 juta penduduk di tahun 1990.
      Kepadatan penduduk di Kota Seoul saat ini juga sudah terlalu gila, yaitu mencapai 18.000/km2. Untuk pembanding ya, kepadatan penduduk Singapura mencapai 8000 orang per km2, Jakarta 15.000 orang/km2, dan Seoul.... 18.000 orang/km2.
      Melihat hal ini, pada tahun 2003, Presiden Roh Moo Hyun membuat rencana untuk memindahkan ibu kota Korea Selatan. Tujuannya adalah untuk mengurangi dominasi Kota Seoul baik dari segi ekonomi dan tata kelola pemerintahannya. Dan akhirnya, di tahun 2007, dibangun lah Kota Sejong. Kota ini mulai di isi oleh bangunan pemerintah sejak tahun 2012.
      Apakah pemindahan ibu kota Korsel ini telah berhasil saat ini?
      Sebenarnya secara lokasi, Pemilihan kota Sejong cukup tepat untuk menjadi ibu kota baru korea Selatan. Meskipun akses pelabuhan dan bandara cukup jauh dari kota ini, Wilayah Sejong masih cukup sepi dan jaraknya juga tidak terlalu jauh dari Seoul. Posisinya juga lebih aman karena letaknya lebih jauh dari Korea Utara bila dibandingkan dengan Kota Seoul. Secara fisik, pemindahan ibu kota dari Seoul ke Sejong bisa dibilang cukup tepat.
      Namun, untuk memenuhi tujuannya, yaitu mengurangi dominasi Seoul, baik secara politik maupun ekonomi, masih cukup susah dan memerlukan waktu yang lama. Wajar saja karena Seoul memiliki pengaruh yang kuat di Korea Selatan. 3 dari 4 universitas terbaik di Korea Selatan masih berada di Seoul dan perusahaan-perusahaan besar juga sebagian besar berada di Seoul. Apalagi, yang dipindah hanya bangunan pemerintahannya saja. Waktu yang di perlukan untuk memindahkan Ibu Kota Korea Selatan sepenuhnya menjadi sangat lama.
Bagaimana menurut kalian? Apa pelajaran yang bisa kita ambil dari sini?
      Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H