"The Island of God yang sunyi" adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan Pulau Bali yang sedang merayakan Hari Raya Nyepi. Namun, tahun 2020 mengubah segalanya. Kalimat tersebut telah memiliki arti lain, yaitu menggambarkan kondisi Pulau Bali yang sedang dilanda pandemic Covid-19.
Selain menghilangkan nyawa jutaan orang, Covid-19 juga menyisakan kenangan buruk bagi daerah yang memiliki ketergantungan tinggi pada sektor pariwisata. Kita tentunya tahu bagaimana hancurnya perekonomian Bali akibat kebijakan lockdown. Banyak cerita pilu dari masyarakat Bali yang kehilangan penghasilan karena diberlakukan lockdown.
Pada tahun 2020, produk domestik bruto regional (PDRB) Provinsi Bali anjlok hingga 9,4%. Padahal, perekonomian nasional hanya turun sebesar 2,07%. Hal ini sangat wajar mengingat perekonomian Bali didominasi oleh sektor pariwisata.
Bali hanyalah salah satu contoh dari banyaknya kisah pilu kehidupan pariwisata di kawasan ASEAN. Walaupun bukan yang terbaik, pariwisata ASEAN memiliki keunikan tersendiri di mata dunia. Keunikan ini merupakan kekayaan yang dimiliki oleh ASEAN, bukan hanya kaya akan warisan alamnya, tetapi juga kaya akan warisan budayanya.
Ketergantungan ASEAN terhadap sektor pariwisata terlihat dari kontribusi sektor pariwisata terhadap perekonomian ASEAN yang menyentuh angka 12,2% dan 12,12% pada tahun 2018 dan 2019. Angka ini lebih tinggi dibanding kontribusi sektor pariwisata terhadap perekonomian dua negara dengan ikon pariwisata yang terkenal, yakni Prancis dan Korea Selatan yang hanya menyentuh 7,5% dan 4,7%. Karena itu, Pandemic Covid-19 menjadi penderitaan bersama bagi negara-negara ASEAN.
Indonesia sang pelopor
Namun, ASEAN tidak tinggal diam ditindas oleh sang virus. Pandemic menyadarkan masyarakat ASEAN untuk bersatu dan mulai bangkit dari nol lagi dengan membangun konektivitas. Indonesia mempelopori terciptanya suatu konektivitas berupa sistem pembayaran yang mudah dan cepat agar dapat mendorong pulihnya perekonomian di Indonesia, bernama Quick Respon Code Indonesian Standard atau QRIS.
QRIS merupakan sistem yang menggabungkan QR code dari berbagai aplikasi dan perbankan menjadi terpusat sehingga lebih praktis saat bertransaksi. Selain lebih praktis, pembayaran menggunakan QRIS dinilai lebih bersih dibandingkan dengan pembayaran tunai. Hal inilah yang membuat QRIS berkembang signifikan semasa Pandemic Covid-19. Volume transaksi QRIS telah meningkat sebesar 132% pada Bulan Maret tahun 2023 dan telah menjangkau lebih dari 25,4 juta merchant.
Penemuan inovatif dari Bank Indonesia ini mendapatkan penghargaan internasional dari the Central Banking's FinTech and Regtech Global Awards tahun 2020 pada kategori inovasi sistem pembayaran. Namun, penghargaan inovatif ini ternyata tidak membuat Indonesia puas. Indonesia memiliki visi untuk memperkenalkan sistem pembayaran QRIS dalam kawasan dan perekonomian yang lebih luas.
Pada tahun 2021, Bank Indonesia mulai mengajak Bank of Thailand untuk meluncurkan pembayaran QR lintas negara pertama di ASEAN yang dikenal dengan QRIS Cross Border. Sistem pembayaran ini memungkinkan orang Indonesia dapat berbelanja di Thailand tanpa perlu menukarkan mata uang rupiah ke baht terlebih dahulu, hanya dengan memindai kode QR. Sistem ini tentu akan berdampak positif bagi pelaku usaha kreatif dan UMKM, khususnya di daerah pariwisata karena mempermudah transaksi wisatawan asing meskipun menggunakan mata uang yang berbeda. Semakin mudah dan praktis sistem pembayaran, semakin besar pula potensi transaksi yang terjadi. Hal ini dapat menciptakan perputaran ekonomi yang lebih besar.
Selain Thailand, Malaysia juga sudah bergabung dalam ekosistem QRIS Cross Border pada tahun 2022 lalu. Kerjasama dengan kedua negara ini menjadi contoh bagi negara ASEAN lain agar dapat bergabung ke dalam ekosistem pembayaran QRIS Cross Border.