Mohon tunggu...
Lewat Cerita
Lewat Cerita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Content Creator

Membahas mengenai berita ekonomi dan politik dunia Lewat Cerita

Selanjutnya

Tutup

Financial

Sang Vaksin Perubahan Iklim

22 Agustus 2023   22:53 Diperbarui: 22 Agustus 2023   23:16 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Jika Anda berpikir bahwa pandemi covid-19 merupakan bencana terbesar yang terjadi pada abad ke-21, Anda belum menyadari betapa seriusnya isu perubahan iklim. Dampak perubahan iklim dan pandemi covid-19 terhadap perekonomian sama buruknya. Namun, yang membedakan adalah keberadaan covid-19 terasa dan dampaknya terhadap perekonomian diketahui oleh semua orang, sedangkan perubahan iklim datang secara perlahan-lahan dan belum banyak orang yang tahu mengenai dampaknya terhadap perekonomian.

Sejauh ini, laporan dari UN Office for Disaster Risk Reduction mencatat kerugian ekonomi yang disebabkan oleh perubahan iklim selama periode 2000-2019 telah menyentuh angka US$ 2,97 triliun. Kerugian ini diperkirakan akan terus membengkak mengingat perubahan iklim yang kian parah dalam beberapa dekade terakhir akibat peningkatan pesat emisi karbon. Bila dikategorikan, perubahan iklim memiliki dua risiko utama terhadap keuangan dan perekonomian.

Pertama, risiko fisik. Risiko ini muncul dari fenomena terkait iklim dan cuaca, seperti banjir, kekeringan, badai, kenaikan permukaan air laut, dan gelombang panas. Risiko fisik inilah yang menyadarkan 195 negara di dunia sepakat dalam Paris Agreement untuk menjaga kenaikan suhu bumi tetap berada dibawah 2 dari suhu sebelum revolusi industri melalui pengurangan emisi gas rumah kaca. Meskipun tampak sepele, laporan dari The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan hanya dengan kenaikan suhu bumi sebanyak 2, ketahanan pangan dunia akan terganggu karena dapat berimbas pada penurunan 7% hasil panen dunia dan 3 juta ton hasil perikanan setiap tahunnya. Penurunan ini akan mengakibatkan kelangkaan bahan pangan dan berpotensi menyebabkan inflasi yang cukup parah sehingga stabilitas ekonomi dan keuangan menjadi terganggu.

Setelah negara-negara mulai menyadari dampak dari risiko fisik dan berkomitmen untuk mencegahnya, ada risiko kedua yang masih perlu dimitigasi, yaitu risiko transisi. Risiko transisi merupakan konsekuensi dari peralihan menuju ekonomi rendah karbon atau ekonomi hijau. Ketergantungan manusia terhadap energi minyak dan fosil membuat transisi menuju ekonomi rendah karbon memerlukan pengorbanan dan penyesuaian, terutama untuk aset dan energi yang tidak ramah lingkungan. Network for Greening the Financial System (NGFS) memperkirakan jika risiko transisi ini tidak dapat diantisipasi dengan baik, transisi menuju ekonomi rendah karbon berpotensi membutuhkan biaya lebih dari 8% PDB pada akhir tahun 2100. Di sisi lain, Bappenas mengestimasi bahwa transisi menuju ekonomi rendah karbon di Indonesia akan menciptakan 1,8 juta lapangan kerja baru (green jobs) hingga tahun 2030 dan diprediksi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1-6,5% per tahun hingga tahun 2050.

Oleh karena itu, risiko transisi tetap harus dihadapi meski memerlukan biaya. Indonesia sebagai penyumbang 3,94% gas rumah kaca dunia berkomitmen untuk mencapai net zero emissions pada tahun 2060. Bappenas mengalkulasi skenario net zero emissions ini membutuhkan nilai investasi rata-rata Rp2,2-2,9 kuadriliun per tahun selama periode 2021-2030. Nilai ini hanya dapat dicapai dengan dukungan dari sektor keuangan.

            Mewujudkan ekonomi hijau perlu dukungan dari sektor keuangan hijau karena pertumbuhan di sektor keuangan dapat berpengaruh positif terhadap aktivitas ekonomi riil. Perbankan memiliki peran kunci dalam mewujudkan keuangan hijau karena sektor keuangan didominasi oleh perbankan. Penyaluran kredit yang tepat dapat mendukung kebutuhan pembiayaan menuju net zero emissions. 

Bank Indonesia selaku otoritas kebijakan makroprudensial dalam sistem keuangan di Indonesia, telah membuat tiga kebijakan yang mendukung perwujudan ekonomi hijau terkait dengan penyaluran kredit perbankan. Pertama, pelonggaran LTV/FTV (Loan/Financing to Value) sebesar 100% untuk properti berwawasan lingkungan dan uang muka 0% untuk kendaraan bermotor berwawasan lingkungan. Kedua, pemenuhan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) dengan pembelian obligasi hijau atau green bond. RPIM merupakan rasio porsi kredit yang wajib disalurkan oleh perbankan untuk pembiayaan inklusif. Untuk saat ini, rasio RPIM yang telah ditetapkan BI adalah 25%. Kebijakan ini akan membantu perbankan memenuhi rasio RPIM dengan mendorong perbankan untuk membeli obligasi hijau. Ketiga, insentif makroprudensial untuk bank yang menyalurkan kredit ke sektor hijau. Bank Indonesia akan memberikan keringanan Giro Wajib Minimum (GWM) bagi bank yang menyalurkan kredit ke sektor hijau.

Ketiga kebijakan tersebut membuat perbankan turut berperan penting dalam mencegah perubahan iklim. Namun, yang perlu diperhatikan adalah ketiga kebijakan tersebut pada dasarnya bersifat sukarela. Artinya, peran perbankan untuk mendukung ekonomi dan keuangan hijau masih bergantung pada komitmen perbankan dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Saya menilai perlu adanya kebijakan yang bersifat memaksa perbankan untuk menyalurkan kredit hijau menggunakan rasio pembiayaan. Rasio ini lebih baik dipisahkan dari rasio RPIM. Bila pemberian kredit dan pembiayaan hijau dihitung sebagai pemenuhan RPIM, rencana untuk mendukung pembiayaan ekonomi hijau bisa menjadi tidak tepat sasaran. Perbankan bisa saja menyalurkan kredit untuk pembiayaan inklusif sebesar 25% dari total kreditnya tanpa harus menyalurkan dana ke pembiayaan hijau untuk memenuhi rasio RPIM.

Dari pada menetapkan rasio sebesar 25% untuk pembiayaan inklusif dan pembiayaan hijau, lebih baik menetapkan 20% rasio pembiayaan inklusif dan 5% rasio pembiayaan hijau. Kebijakan rasio pembiayaan yang terpisah ini juga berlaku di negara lain, seperti perbankan di Thailand yang wajib menyalurkan 6% untuk industri kecil dan 14% untuk sektor pertanian. Selain dapat memberikan paksaan kepada perbankan untuk memenuhi rasio sesuai yang diharapkan, pemisahan rasio ini juga membuat kebijakan menjadi lebih jelas untuk ditaati oleh perbankan.

Selain rasio yang bersifat insentif, perlu adanya rasio yang bersifat disinsentif. Sudah saatnya perbankan diberikan batas maksimal dalam menyalurkan kredit kepada bisnis atau industri yang menghasilkan karbon pada tingkatan tertentu. Namun, besaran kedua rasio ini perlu di tinjau kembali. Jangan sampai kedua rasio pembiayaan tersebut akan menyulitkan perbankan dalam memenuhinya yang malah berdampak pada kesehatan kredit.

Simpanan hijau

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun