Sebuah harapan terbesar dalam hidupku adalah
Mendampingimu, merawat dan memeliharamu dikala senja menghampiri usiamu
Ahh..... hampir saja aku mengabaikanmu karena padatnya rutinitas yang seolah tiada berspasi. Jarak yang membentang memaksaku tertahan di balik sebuah tanda koma, bahkan seakan terkunci pada sebuah tanda titik. Aku hanya mampu memandang wajah dan mendengar suara lembutmu lewat jendela maya. Walau sesaat namun cukup untuk melepaskan rasa khawatir akan kondisimu. Kau selalu berbisik lirih kepadaku "seperti inilah keadaanku, kaki yang selalu kesemutan, pinggang yang sering terasa ngilu" dan berbagai kesahmu yang selalu kau tumpahkan padaku.
Setiap bersamamu selalu menjadi moment yang sakral buatku. Selalu kurasakan kenyamanan batin dikala aku berada disampingmu. Bersamaku engkau malah lahap menyuap makananmu, bersamaku pula engkau tiba-tiba sehat setelah sakit yang menerpamu, dalam benakku aku tau sakitmu bukan karena penyakit tapi karena rasa kerinduan yang tak kunjung padam bahwa engkau ingin berkumpul dengan anak-anakmu. Bahkan, wajahmu yang murung seketika menjadi ceria seperti dibasuh air mawar segar.
Bila aku sakit, engkaulah yang lebih dulu merasakan sakitnya, engkau sempat bergumam kepadaku "seandainya bisa, biar aku saja yang menggantikan penyakitmu". Bila aku mendapat musibah, engkaulah yang pertama merasakan penderitaanku, engkau pernah berkata "kalau kamu mati, aku juga akan mati". Sebuah pernyataan tentang ketulusan kasih sayangmu padaku.
Walaupun aku sudah menikah dan punya anak, engkau tak pernah lalai memperhatikanku. Ahh... Masih segar dalam ingatan ketika engkau membuatkan obat tradisional dari rebusan daun pucuk jambu biji untuk mengobati berak yang tak kunjung berhenti saat obat-obat kimia tidak lagi berfungsi untukku. Sungguh, kasih sayangmu yang tersirat dalam doa yang telah menyembuhkan penyakitku.Â
Bila sepertiga malam tiba, engkau bangkit dari tidur dan tertatih merangkak mengambil air wudhu. Di penghujung malam itu suaramu yang serak terdengar lirih memanjatkan doa untuk kebaikan anak-anakmu. Sungguh... ternyata engkaulah Malaikat itu, Malaikat yang tak bersayap.
Hik... Â aku mendadak tidak bisa berkata apa-apa, aku terus terdiam, entah kata indah apalagi yang akan kurangkaikan untukmu. Butiran air mata yang bertengger di sudut kelopak mata ini yang selalu menyertai doa yang mampu kupersembahkan untukmu, Semoga sang Maha Mendengar memberikan keajaiban dan mengabulkan keinginan yang selalu mengisi setiap ruang hatiku.
Ibu... Aku ingin pulang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H