Mohon tunggu...
Johan Arifin
Johan Arifin Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Kementerian Agama Kab. Kapuas

Sejenak aku kisahkan tentang diriku padamu, agar kau tau siapa aku, bagaimana hidupku, karena kau tak akan pernah bertanya bagaimana rasanya menjadi aku.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

7 Hari di Cikole, Pagi Spesial di Purwakarta

16 Maret 2018   14:54 Diperbarui: 13 April 2019   07:26 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi, 21/12/2017

Hari ini, Kamis, tepatnya tanggal 21 Desember 2017, perjalanan kami teruskan ketempat saudara ibu yang tertua di Purwakarta. Agar perjalanan ke Purwakarta berjalan dengan baik dan lancar kamipun berembuk dan berdiskusi. Diskusi yang hangat mulai memanas dan akhirnya menjadi perdebatan yang alot layaknya anggota dewan, bahkan sampai adu jotos dengan beberapa piring kue basah, makanan ringan, beberapa cangkir kopi dan 1 cerek teh tawar hangat :D

Kata Kang Abdullah, kalau pagi-pagi sudah berada di Purwakarta mungkin kami tidak akan bisa bertemu dengan keluarga disana karena mereka sedang berada di kebun. Jadi kami memutuskan berangkat sekitar jam 7 pagi agar saat menjelang siang hari kami tiba di Purwakarta.

Untuk menghemat biaya yang sudah menipis setipis kulit bawang, kami menyewa mobil teman kang Yanto karena harga sewanya layaknya teman tapi mesra. Sedangkan sopirnya adalah Kang Yanto sendiri, dia mahir mengemudi dan juga punya SIM.

Rute perjalanan yang diambil yakni dari Cikole kemudian Ciater dan masuk ke jalan kecil dekat Tugu Tani.  "Wah.... apa harus lewat situ lagi" gumamku dalam hati. Mmm.... sedikit rasa trauma karena harus melewati jalan yang sama saat kami menuju Cikole, saat harus bermabok ria ditengah goncangan mobil, kelelahan dibawah guyuran hujan dan cahaya malam yang remang, kemudian jalan yang berkelok dan turun naik yang nampak samar-samar belum lagi jurang disisi jalan yang sedikit mengerikan. "Haduuhh...... takuutt...". Ada beberapa pertimbangan kenapa kami harus mengambil jalan tersebut. Karena selain jalan sedikit sepi dan tidak macet, hawanya yang sejuk dan pemandangannya luar biasa mempesona.

Pukul 7 pagi kami mulai menyusuri jalan Tangkuban Perahu menuju ke Purwakarta, saat tiba di Tugu Tani (Tugu Gotong Royong), mobilpun diarahkan kebelokan jalan sempit. Hati mulai ada was-was, perlahan tapi pasti kami menelusuri jalan tersebut dengan sedikit kendala seperti jalan yang berlubang-lubang dan saat berpapasan dengan mobil lain.

Aku sedikit kaget, aku merasa ada yanag beda, kok jalannya tidak se ekstrem  seperti saat menuju Cikole. Ahh... entahlah, sepertinya situasi dan kondisi diperjalanan saat melewati pagi hari dengan saat melewati menjelang malam cukup mempengaruhi. Saat pagi hari masih segar dan semangat, sedangkan saat menjelang malam sudah kelelahan dan menurunnya konsentrasi. Cara sopir mengemudi juga tidak kalah pentingnya. Sopir yang mengemudi dengan ugal-ugalan dan tergesa-gesa membuat kami sebagai penumpang serasa mau pingsan saja. Sedangkan kali ini kami sangat beruntung karena dikemudi oleh Kang Yanto sendiri,  menjalankannya santai dan enak.

Setelah belok sana belok sini, belok kiri belok kanan, ealahhh akhirnya nyungsep, haha.... bercanda ya. Karena aku tidak hapal nama jalan dan yang ditanya juga tidak tau sementara aku juga lupa mencatatnya akhirnya itulah kata-kata untuk mengungkapkan saking banyaknya belokan dan gang yang harus dilalui.

Sekitar satu jam setengah kemudian, akhirnya kami tiba di rumah keluarga kakak tertua Ibu. Sesaat aku hanya bisa tertunduk diam, hampir saja aku kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan kegembiraan yang kami dapat. Kami saling sapa, bersalaman, dan "berpelukaannn......" kemudian duduk dilantai rumah yang cukup sederhana. Kami ngobrol asyik dan saling berbagi cerita.

Tidak berapa lama, seorang nenek keluar dari dapur. Perawakannya kecil, umurnya diperkirakan 70 an tahun bahkan mungkin lebih, kulitnya sudah keriput, badannya kurus dan tidak berdaging, jalannya sedikit bungkuk karena faktor usia. Sang anak memperkenalkan kepada kami bahwa dia adalah kakak ibuku. Oh... Tuhan, kesan pertama melihat beliau aku langsung merasa menyayanginya seperti menyayangi ibuku. Ada rasa iba ketika melihat kondisi ekonominya yang berada dibawah standar. Sedih ketika harus mendengar cerita hidupnya yang penuh liku.

Ditengah perbincanga kami yang seru, nampak para ibu sedang sibuk menyiapkan makanan. Wah... ini nih yang ditunggu-tunggu "makan-makan" hehe..... Makanan yang dihidangkanpun sangat sederhana namun begitu istemewa. Nampak kepulan asap nasi putih hangat yang membawa aromanya masuk kelambung, segarnya aneka pucuk sayur hijau yang direbus, beberapa iris ikan asin dan sambel pedas lezat, tidak lupa secerek teh tawar hangat. Kenikmatan yang luar biasa hingga kami beberapa kali menambahkan nasi ke piring makan.

Alhamdulillah, tujuan utamaku untuk mempertemukan ibu dengan saudaranya yang sudah 40 tahun lebih tidak bertemu akhirnya terkabulkan. Ya Tuhan.... terima kasih atas anugerah rasa nikmat yang engkau berikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun