Namun, itu benar-benar bisa mendatangkan malapetaka pada tingkat individu dan memperburuk keadaan," kata Michael Slepian, seorang psikolog sosial di Universitas Columbia.
Penelitaan Slepian dibangun di atas teori populer dalam psikologi bahwa rasa bersalah, jika dibandingkan dengan kerabatnya, rasa malu, mengambil peran yang berbeda dalam jiwa manusia. Pada dasarnya, rasa bersalah membangkitkan perasaan menyesal atas kejadian atau perilaku tertentu yang telah merugikan orang lain.
Di sisi lain, rasa malu juga memunculkan perasaan tidak berharga dan penilaian diri yang lebih luas.
"Itulah perbedaan utama antara rasa bersalah dan rasa malu," kata Taya Cohen psikolog organisasional Universitas Carnegie Mellon, "Kau melakukan hal yang buruk," vs. "Kau orang jahat."
Di zaman sekarang, misalnya, jika Anda memposting kata-kata kasar tentang seorang teman di media sosial, Anda mungkin merasa bersalah dan kemudian meminta maaf. Apa yang disebut respons rasa malu untuk situasi yang sama akan membuat Anda merasa seperti orang yang mengerikan dan tidak berharga.
Slepian mengatakan dia mempertanyakan apakah ada tempat yang sehat untuk rasa malu hari ini: "Saya tidak tahu apakah membuat orang merasa kecil dan tidak berdaya adalah hal yang baik."
Menyebarkan Rasa Malu
Sama seperti Monica Lewinsky adalah pasien nol untuk penghinaan global instan, Justine Sacco pada 2013 menjadi anak poster untuk Twitter shaming viral, sekarang praktik umum pada platform yang dibangun untuk input cepat (seringkali kritik) dari massa.
Beberapa menit sebelum naik penerbangan 11 jam ke Afrika Selatan, Sacco memposting tweet ke 170 pengikutnya, yang secara permanen mengubah hidupnya: "Pergi ke Afrika. Semoga saya tidak terkena AIDS. Hanya bercanda. Saya putih!"
Pada saat Sacco mendarat, puluhan ribu orang telah menanggapi dan membagikan tweetnya. Tagar #HasJustineLandedYet (#ApakahJustineTelahMendarat) menjadi viral di seluruh dunia, dengan rentetan kritik yang menyebut dia rasis.
Momen itu sebagian didorong oleh fakta bahwa dia mengudara dan tetap tidak menyadari dampak tweetnya sampai dia terhubung kembali ke internet. Dia juga bekerja sebagai seoarang direktur komunikasi senior, yang menciptakan badai ironi dan meme internet yang sempurna.
Sacco segera dipecat dari pekerjaannya, dan menjadi subjek artikel dan buku yang tak ada habisnya. Salah satu pertanyaan besar dalam kasusnya, dan banyak kasus serupa, adalah sejauh mana kesalahan tunggal harus menghancurkan reputasi seseorang. Dan kapan Twitter shaming, atau setumpuk kritik terhadap seseorang, menjadi perundungan?