Saya tidak tahu jelas apakah si perundung berpikir dua kali sebelum memposting rundungan itu. Yang pasti, dia merasa si korban tidak akan sakit hati atau setidaknya tersinggung karena dia tidak pernah memikirkan bagaimana kalau dia yang diperlakukan demikian. Rundungan itu biasanya dikemas sedemikian rupa, dan lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan.
Contoh:
1. Di salah satu media sosial, saya pernah memposting tentang kedua puteri saya ketika pertama kalinya mencoba sushi dan sashimi.
Komentar yang masuk semuanya wajar-wajar saja, dan malah menjadi bahan diskusi yang menarik ketika saya memberi tanggapan atas sebuah komentar, bahwa karena pertama kali, kedua puteri saya belum bisa benar-benar menikmati kuliner Jepang itu, tapi saya tahu jalan keluarnya.Â
Yang menyebabkan mereka kurang suka sushi dan sashimi adalah karena mereka belum terbiasa dengan kecapnya, yang lalu saya akali dengan menambahkan gula dan jus lemon.
Keceriaan diskusi itu tiba-tiba buyar dengan masuknya sebuah komentar sinis: "Bapaknya yang suka."
Cuma 3 kata tapi merusak total suasana.
Saya jadi tertanya-tanya, apakah si perundung ini peduli dengan orang-orang lain yang membaca komentarnya itu?
Setelah melakukan anilisis singkat dan sampai pada kesimpulan bahwa semua komentar "teman" ini tidak ada yang tidak sinis, saya pun meng-unfriend dan memblokir dia, selesai.
Dalam hidup, jangan sampai kita memiliki musuh 1 orang pun, namun teman yang perilakunya adalah musuh juga bukan teman.
2. Postingan saya yang lain adalah ketika putri saya mencoba membuat kue bolu untuk pertama kalinya, dengan melampirkan sebuah foto yang menunjukkan keberhasilannya.
Pada komentar ke sekian, masuklah:
"Berhasil ya?"