Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Krisis Kesuburan, Krisis Populasi, Sekarang Apa Lagi? Child Free?

1 September 2021   18:10 Diperbarui: 1 September 2021   18:15 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pregnancy reborn. Diadaptasi dari The Scientist, Vol. 35, Issue 4, August 2021, hlm. 24.

Malas menikah karena mengutamakan pengejaran karir adalah tren yang sudah terjadi di Jepang dan beberapa negara lainnya.

Akibatnya, dalam hal ini para wanita, sudah terlambat atau agak terlambat ketika mereka setelah mencapai usia tertentu baru memutuskan sebaliknya, yaitu ingin memiliki anak.

Dunia saat ini semakin terjerumus dalam krisis populasi, yang tercermin dari beberapa kenyataan berikut:
1. Di Inggris, tingkat fertilitas telah turun di semua kelompok usia kecuali wanita berusia 40 tahun plus, dan tingkat fertilitas untuk wanita di bawah 30 tahun berada pada titik terendah sejak 1938.
2. Pada 2017 terungkap bahwa jumlah sperma pria Barat telah menurun hampir 60% dalam 40 tahun, akibat obesitas, diabetes dan kemungkinan juga akibat polusi, karena polutan mengandung bahan-bahan kimia pendisrupsi endokrin (Endocrine Disruptive Chemicals/EDC).
3. Di Jepang, krisis populasi merupakan akibat dari gabungan faktor pengejaran karir sehingga malas menikah, dengan meningkatnya harapan hidup (life expectancy), dan di masa mendatang populasi anak akan semakin kecil dibanding populasi kakek-nenek.

Catatan:
Bandingkan dengan artikel saya:
1. Apakah Dunia Benar-Benar Sedang Menghadapi Krisis Kesuburan?
2. Perawatan Penyakit Ketidaksuburan Menurut Kate O'Neill.

Sekarang, mulai muncul pula sebuah tren atau bakal tren baru yang disebut Child Free, yaitu tidak mau memiliki seorang anak pun. Apakah itu merupakan sebuah keputusan yang keliru atau justru sudah tepat?

Istilah "Child Free" (harf. "Bebas Anak") menurut pandangan saya sangat keras, karena mengkonotasikan sebuah makna bahwa alih-alih keyakinan tradisional bahwa kehadiran seorang anak adalah pelengkap atau penambah kebahagiaan rumah tangga pasangan suami istri, anak malah dianggap sebagai perenggut kebahagiaan itu dan pasutri tersebut harus "bebas anak."

Adagium orang-orang tua kita, "banyak anak banyak rezeki" tampaknya akan semakin terkikis seandainya semakin banyak pasutri yang mengambil keputusan untuk tidak mau memiliki anak.

Di Inggris (lihat di atas), penelitian menunjukkan bahwa di balik peningkatan bayi yang dilahirkan oleh wanita berusia 40 tahunan adalah para wanita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, namun ada kekhawatiran di seputar kemampuan biaya membesarkan anak-anak itu dan menunggu sampai mereka menemukan pasangan yang cocok, tetapi bagaimana dengan calon suami isteri yang merencanakan akan menikah pada usia yang lebih muda?

Apakah mereka:
1. Memiliki kekhawatiran yang sama?

2. Sama-sama juga mengutamakan pengejaran karir masing-masing?

3. Sampai pada pertimbangan bahwa secara kodrati dan fisiologis, wanita diciptakan untuk bereproduksi? Apa pun yang dilakukan untuk menghambat maupun menghentikan proses fisiologis ini hanya akan menimbulkan kondisi yang patologis.

Jadi setiap calon pasutri hendaknya mempertimbangkan masak-masak sebelum mengambil keputusan untuk "child free." Terlihat dengan jelas contoh-contoh di mana pasutri yang mencegah kehadiran anak justru mengeluarkan biaya tambahan lain untuk mengatasi kondisi-kondisi kesehatan yang terkait dengan keputusan untuk tidak mau punya anak itu.

Apakah yang mereka khawatirkan adalah kurangnya waktu dan/atau ketidakmampuan dalam berbagai bentuk (biaya, pengetahuan parenting), ditambah pula dengan ketidaklegaan untuk mempercayakan, katakanlah seorang babysitter, untuk mengasuh anak mereka?

Ada satu lagi pertimbangan pasutri yang memutuskan untuk "child free," yaitu dunia di masa depan akan semakin "gila" dan mereka khawatir anak mereka tidak sanggup menjalani hidup di masa depan itu merasa kasihan.

Bagaimana dengan pertimbangan orang-orang tua juga, bahwa mereka membutuhkan perhatian dari anak-anak mereka di usia tua mereka?

Kesimpulannya, apa pun keputusan yang akan diambil, entah mau memiliki anak, atau utamanya tidak mau memiliki anak, harus didasari oleh pertimbangan yang banyak dan jauh ke depan.

Terlebih lagi, kesadaran akan kenyataan-kenyataan di atas (krisis populasi, krisis fertilitas, harapan hidup yang semakin meningkat) hendaknya diadu dengan rencana pengejaran karir yang mengarah pada pengambilan keputusan untuk "child free."

Tiap zaman memiliki peluang dan tantangannya sendiri, dan mengkhawatirkan kesanggupan generasi mendatang dalam menghadapi peluang dan tantangan masa depan tidak lebih penting dibanding mempersiapkan dan membekali anak, melalui parenting positif, agar memiliki kesanggupan menghadapi situasi apa pun, sebagaimana kita sebagai orangtua sudah menjalani dan melewati tantangan zaman kita sendiri.

Keputusan untuk "child free" memang bukan keputusan satu individu, tetapi pasangan individu (50%), namun penambahan setiap satu keputusan yang demikian akan berkontribusi pada peningkatan krisis populasi global, dan pada gilirannya (mudah-mudahan tidak terjadi) kepunahan umat manusia.

Di situlah terletak toleransi dan partisipasi etis dari para pasangan suami isteri, utamanya yang baru menikah, untuk tidak sampai mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang banyak dan jauh ke depan itu.

Masa depan dunia dan umat manusia terletak di tangan kalian.

Catatan:
Di satu sisi, para individu yang mengalami infertilitas sangat ingin dan terus berupaya agar bisa memiliki anak. Ironisnya, di sisi lain, para individu yang sama sekali tidak memiliki masalah infertilitas malah memilih untuk "child free."


Kepustakaan
1. Foto judul: Pregnancy Reborn, The Scientist, Vol. 35, Issue 4, August 2021, hlm. 24.
2. Diary Johan Japardi.
3. Berbagai sumber daring.

Jonggol, 1 September 2021

Johan Japardi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun