3. Sampai pada pertimbangan bahwa secara kodrati dan fisiologis, wanita diciptakan untuk bereproduksi? Apa pun yang dilakukan untuk menghambat maupun menghentikan proses fisiologis ini hanya akan menimbulkan kondisi yang patologis.
Jadi setiap calon pasutri hendaknya mempertimbangkan masak-masak sebelum mengambil keputusan untuk "child free." Terlihat dengan jelas contoh-contoh di mana pasutri yang mencegah kehadiran anak justru mengeluarkan biaya tambahan lain untuk mengatasi kondisi-kondisi kesehatan yang terkait dengan keputusan untuk tidak mau punya anak itu.
Apakah yang mereka khawatirkan adalah kurangnya waktu dan/atau ketidakmampuan dalam berbagai bentuk (biaya, pengetahuan parenting), ditambah pula dengan ketidaklegaan untuk mempercayakan, katakanlah seorang babysitter, untuk mengasuh anak mereka?
Ada satu lagi pertimbangan pasutri yang memutuskan untuk "child free," yaitu dunia di masa depan akan semakin "gila" dan mereka khawatir anak mereka tidak sanggup menjalani hidup di masa depan itu merasa kasihan.
Bagaimana dengan pertimbangan orang-orang tua juga, bahwa mereka membutuhkan perhatian dari anak-anak mereka di usia tua mereka?
Kesimpulannya, apa pun keputusan yang akan diambil, entah mau memiliki anak, atau utamanya tidak mau memiliki anak, harus didasari oleh pertimbangan yang banyak dan jauh ke depan.
Terlebih lagi, kesadaran akan kenyataan-kenyataan di atas (krisis populasi, krisis fertilitas, harapan hidup yang semakin meningkat) hendaknya diadu dengan rencana pengejaran karir yang mengarah pada pengambilan keputusan untuk "child free."
Tiap zaman memiliki peluang dan tantangannya sendiri, dan mengkhawatirkan kesanggupan generasi mendatang dalam menghadapi peluang dan tantangan masa depan tidak lebih penting dibanding mempersiapkan dan membekali anak, melalui parenting positif, agar memiliki kesanggupan menghadapi situasi apa pun, sebagaimana kita sebagai orangtua sudah menjalani dan melewati tantangan zaman kita sendiri.
Keputusan untuk "child free" memang bukan keputusan satu individu, tetapi pasangan individu (50%), namun penambahan setiap satu keputusan yang demikian akan berkontribusi pada peningkatan krisis populasi global, dan pada gilirannya (mudah-mudahan tidak terjadi) kepunahan umat manusia.
Di situlah terletak toleransi dan partisipasi etis dari para pasangan suami isteri, utamanya yang baru menikah, untuk tidak sampai mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang banyak dan jauh ke depan itu.
Masa depan dunia dan umat manusia terletak di tangan kalian.