Angka-angka ini sulit untuk dikonseptualisasikan, dan mungkin dengan memahami prevalensi infertilitas relatif terhadap kondisi lain akan memiliki dampak yang lebih besar: lebih banyak wanita usia reproduktif yang terkena infertilitas daripada tekanan darah tinggi, diabetes, atau kanker.
Meskipun infertilitas sering terjadi, stigma yang terkait dan tidak adanya manifestasi fisik bisa membuat para penderita merasa sendirian dan menyembunyikan dari yang orang-orang yang tidak terkena infertilitas, yang dengan demikian tetap tidak menyadari banyaknya orang yang terkena dampak infertilitas.
Selain kesalahpahaman tentang prevalensi infertilitas, apakah kondisi ini bisa dilihat secara berbeda karena dianggap bisa dicegah? Beberapa orang menganggap sebagian besar infertilitas faktor tuba (tubal factor infertility) disebabkan oleh infeksi menular seksual, dan individu yang lebih tua dari 35 tahun sering bertanya-tanya apakah mereka membawa kesulitan untuk hamil pada diri mereka sendiri dengan "menunggu terlalu lama."
Sebenarnya, faktor perilaku atau sosial berkontribusi pada sebagian kecil kasus infertilitas, sehingga keliru jika kita menyatakan bahwa memodifikasi faktor-faktor ini saja bisa memberantas penyakit infertilitas.
Akan tetapi, bahkan jika masalah gaya hidup memang menyebabkan sebagian besar kasus infertilitas, mengapa itu penting? Biaya pengobatan untuk banyak penyakit dengan komponen perilaku, misalnya penyakit jantung, kanker paru-paru, dan diabetes, ditanggung oleh asuransi pemerintah dan swasta.
Apakah infertilitas berbeda karena tidak mengancam jiwa? Patah tulang, kebutaan, dan radang sendi biasanya tidak mengancam jiwa, tetapi pengobatan kondisi-kondisi ini meningkatkan kualitas hidup dan ditanggung oleh sebagian besar polis asuransi.
Akankah sikap ini bertahan jika trauma yang terkait dengan infertilitas dan penurunan kualitas hidup yang diderita oleh mereka yang tidak bisa membangun keluarga memiliki manifestasi fisik?
Untuk mereka yang belum mengalami infertilitas, rasa sakitnya sulit dibayangkan. Tidak seperti penyakit lain, infertilitas membuat korbannya tidak kasat mata, sehingga mudah diabaikan oleh masyarakat. Sebaliknya, kegagalan dalam memberikan pengobatan untuk diabetes bisa mengakibatkan amputasi, hasil yang tidak terbayangkan jika sampai terjadi pada zaman sekarang ini.
Setiap orang bisa melihat kehilangan anggota tubuh dan kecacatan yang diakibatkannya. Jika insulin bisa mencegah amputasi, maka jelas merupakan kepentingan terbaik pasien dan masyarakat untuk memastikan bahwa obat dibuat dengan harga terjangkau dan bisa diakses oleh penderita diabetes.
Karena banyak orang tidak bisa melihat malapetaka yang ditimbulkan oleh penyakit ini, maka pasangan infertil sering mendengar sentimen basi dari teman dan keluarga seperti: "Anak-anak sangat merepotkan, bisa boleh mengangkat salah satu anak saya," atau "Kalian harus membeli anak anjing atau berkeliling dunia!"
Tidak ada yang akan memberi tahu penderita diabetes, "Kehilangan 1 kaki tidak seburuk yang kamu bayangkan. Lagipula, kamu kan punya 1 kaki lagi!"