Jika berpikir secara saintifik, dari hari ke hari sains ditingkatkan untuk "memperkecil error," Â bukan dan tidak bisa untuk "membuat kebenaran mutlak" dan dengan demikian setiap konsep saintifik memiliki "sesuatu yang bisa diabaikan," contoh: ketika membahas tentang gerak sebutir peluru, resistansi udara diabaikan, dll.
Sekarang saya mau ajak para pembaca untuk menelaah tentang gagasan Samuel Huntington yang sudah banyak diulas oleh rekanda Kompasianer dalam artikel-artikel Kompasiana, dan yang terbaru oleh pak Felix Tani: "Benturan Peradaban" di Jagad Kompasiana.
Editorial jurnal NATURE pernah mengemukakan sebuah topik berjudul: Culture Clash pada 8 Januari 2009. Topik ini tentunya diilhami oleh kalimat-kalimat awal dalam esai di Majalah Foreign Affairs (Urusan Luar Negeri) pada 1993 karya Samuel Huntington, "The Clash of Civilizations." Â
Karena saya ingat saya memiliki jurnal ini, saya pun mencarinya dan menyari kontennya untuk dituangkan dalam artikel ini, dengan tujuan mengajak para pembaca untuk sedikit menjelajahi "clash."
Clash didefinisikan sebagai bentrokan atau perselisihan dan juga tidak masalah jika kita sebuat "kles" karena istilah ini sudah lazim dalam bahasa Indonesia. Saya memilih "perselisihan" karena melihat ada perbedaannya dengan "benturan" ("collision") yang memang bisa ditimbulkan oleh perselisihan.
Kata Editorial NATURE di atas, Samuel Huntington akan dikenang karena gagasan-gagasannya, meski kontroversial. Huntington membuat sebuah hipotesis bahwa sumber fundamental konflik di dunia baru ini tidak akan terjadi dalam bidang ideologi atau ekonomi. Perpecahan besar di antara umat manusia dan sumber konflik yang mendominasi bersifat kultural.... Garis-garis patahan peradaban-peradaban akan menjadi garis-garis pertempuran di masa depan."
Dengan berita utama suratkabar-suratkabar yang didominasi oleh konflik antara Israel dan Palestina, serta oleh konfrontasi antara Pakistan dan India, Perselisihan Peradaban-peradaban tampak lebih bergema ketimbang sebelumnya.
Huntington yang meninggal pada 24 Desember 2008 dalam usia 81 tahun adalah sesosok raksasa kontroversial di kalangan intelektual publik di Amerika Serikat. Huntington mengajar di Universitas Harvard selama 58 tahun, mendirikan majalah Foreign Policy (Kebijakan Luar Negeri) dan bekerja di Gedung Putih di bawah Presiden Jimmy Carter. Namun, Huntington menimbulkan kritik keras dari para ilmuwan.
Pada 1980-an, misalnya, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional AS 2 kali mem-vote untuk menolak penerimaan Huntington sebagai anggota.
Inti dari pertikaian mereka adalah penggunaan notasi matematika Huntington sebagai ringkasan dari gagasan-gagasan politik yang kompleks, misalnya penggunaan persamaan-persamaan untuk mengklaim bahwa apartheid Afrika Selatan adalah "masyarakat yang puas."
Seperti yang dinyatakan oleh matematikawan dan anggota akademi tersebut, Serge Lang dari Universitas Yale di New Haven, Connecticut, langkah Huntington tersebut memberikan "ilusi sains tanpa substansinya."
Akan tetapi, pertengkaran itu mereda, menyusul redanya kontroversi atas esai Huntington. Berspekulasi tentang konflik yang akan datang di era pasca-perang dingin, Huntington  berpendapat bahwa orang-orang harus diklasifikasikan sebagai anggota-anggota budaya yang berbeda, dan menegaskan bahwa perang bisa lebih dipahami sebagai konflik di antara peradaban-peradaban ini, bukan antar negara-negara.
Bagi banyak orang, termasuk pembuat kebijakan senior di Eropa dan Amerika Serikat, Huntington mengatakan dengan lantang apa yang sudah mulai mereka yakini secara pribadi: bahwa untuk bertahan dan terus makmur, negara-negara Barat perlu menganggap negara-negara tertentu sebagai musuh.
Namun, bagi orang lain, Huntington hanya memberikan penghormatan akademis pada pandangan ultra-nasionalis dan ekstremis agama.
Ekonom pemenang Hadiah Nobel, Amartya Sen dari Universitas Harvard, berbicara banyak ketika dia berpendapat bahwa mengklasifikasikan manusia dengan menggunakan satu metrik tunggal, agama atau peradaban, bukan hanya salah secara faktual, tetapi juga merupakan prediktor konflik masa depan yang belum teruji.
Lagipula, dengan melihat data historis, Malcolm Chalmers dari Royal United Services Institute (Institut Layanan Terpadu Kerajaan), sebuah think-tank pertahanan yang berbasis di London, telah menemukan bahwa proporsi orang yang tewas dalam perang dan konflik sebenarnya telah menurun sejak akhir Perang Dunia Kedua.
Dengan menelaah catatan arkeologis dari konflik-konflik yang bahkan lebih lama, ekonom Samuel Bowles dari Institut Santa Fe di New Mexico menunjukkan bahwa semangat kebersamaan dan kemurahan hati orang-orang saat ini mungkin terjadi sebagian karena sejarah permusuhan yang lebih berdarah-darah terhadap orang-orang asing.
Di tempat lain, antropolog Arjun Appadurai dari New School di New York mengatakan bahwa ketegangan dan konflik saat ini tidak banyak dicirikan oleh "perselisihan peradaban," melainkan oleh kelompok yang lebih besar yang merasa terancam oleh kelompok yang lebih kecil.
Di King's College London, Christoph Meyer dan rekan-rekannya di Departemen Kajian Perang baru saja memulai proyek 3 tahun yang akan menggunakan gagasan ini untuk mencari cara yang bisa memberikan peringatan lanjutan bahwa permusuhan atau antipati akan mendidih menjadi kekerasan.
Tetap saja, gagasan perselisihan peradaban Huntington bertahan terus, karena hanya sedikit pengkritik yang bisa menandingi kesederhanaan dan cakupan konsep asli itu.
Para ilmuwan saat ini sering bekerja di bidang yang sangat terspesialisasi, dan cenderung enggan untuk mengusulkan teori-teori yang berlebihan. Namun, para pembuat kebijakan cenderung lebih menanggapi para ilmuwan yang tampaknya memberikan gambaran yang lebih besar, dan mampu memberikan sintesis yang dikomunikasikan dengan jelas.
Ini adalah keterampilan yang dimiliki Huntington, yang memberikan pelajaran sekaligus dilema bagi para ilmuwan.
Huntington tidak selalu benar, tetapi kemampuannya untuk menempati dan memanfaatkan ruang di antara para peneliti dan para pengguna akhir membuat gagasan-gagasannya memberikan lebih banyak pengaruh.
Kepustakaan:
1. Culture Clash, Editorial, NATURE, Vol 457, 8 Januari 2009, hlm. 129-130.
2. Diary Johan Japardi
3. Bebagai sumber daring.
Jonggol, 22 Agustus 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H