Dua macam makanan yang sangat kontras, semur jengkol dan pizza. Saya mengungkit hal ini karena pernah ada orang Amerika yang suka mengatakan: "Setiap kali saya memakan Chinese food, saya teringat pizza." Pernyataan yang aneh yang ingin saya timpali dengan "Setiap kali saya memakan Western food, saya mengidamkan semur jengkol."
Kenapa saya katakan pernyataan di atas aneh? Karena pizza bukan makanan Amerika, dan tanpa harus mengecek asal usul semur jengkol, saya memiliki keyakinan bahwa mengatakan semur jengkol adalah makanan Indonesia mengandung kebenaran dengan  tingkat kebenaran yang jauh lebih tinggi ketimbang pernyataan aneh tersebut.
Bagaimana menyikapi perbedaan yang sangat kontras ini? Tidak usah saling mencampuri urusan masing-masing. You go your way, I go mine. Kalau mau kelihatan kekontrasannya, kita gunakan bahasa Mandarin: Nizou ni de yangguandao, woguo wo de dumuqiao
(Kau jalani jalan rayamu, kulewati jembatan kayu sebatangku), yang satu mulus, yang satu lagi sulit.
Â
Orang Amerika itu tidak bisa mengatakan apalagi memaksa saya, si penggemar semur jengkol, untuk mengapresiasi apalagi menyukai pizza, dan sebaliknya saya pun tidak bisa memaksa dia untuk menyukai semur jengkol. Keduanya setara tapi selera berbeda. Saya tidak perlu minder dengan bau jengkol selama saya memakan semur itu di rumah saya sendiri dan tidak menyebarkan bau kepada orang lain.
Sedikit masalah dengan uraian di atas adalah bahwa saya juga bisa menikmati pizza, sekali sekala karena bukan makanan pokok saya sehari-hari. Saya juga tidak perlu mengangankan orang Amerika itu kelak bisa mengapresiasi semur jengkol walaupun kalau dia bisa, itu adalah hal yang sangat baik, saya jadi punya teman bule yang juga menyukai semur jengkol dan tidak khawatir dia tidak suka baunya.
Selanjutnya, mengapa saya bawa-bawa Kompasiana dalam judul artikel ini? Ya tentu berkaitan dengan urusan tulis menulis.
Seorang penggemar pizza akan bisa menulis dengan sangat baik segala sesuatu yang berkaitan dengan pizza, demikian juga si penggemar semur jengkol.
Kalau ternyata si penulis "jengkolan" selalu meraup K-Rewards tertinggi, itu adalah rezeki dia. Trend terkini dibanjiri oleh para pembaca, entah Kompasianer atau bukan, yang..... menggemari bukan pizza.
Penulis yang menggemari pizza harus nrimo trend ini, berhenti menulis tentang pizza, pindah ke blog lain dengan trend pembaca yang juga sesama penggemar pizza, atau terus dengan passion pizza menulis tentang pizza sampai trendnya berubah dari semur jengkol menjadi pizza, tidak perlu atau tidak punya hak untuk menyampaikan protes kepada pihak mana pun, karena ini hanya akan menumbuhsuburkan pertikaian yang tak ada habisnya, yang malah berpotensi membuat artikel pizza maupun jengkol mengalami penurunan kualitas dan manfaat karena para penulisnya mengalami gangguan konsentrasi.
Yang jelas, jika tidak saling mencampuri urusan masing-masing, semur jengkol dan pizza (maksud saya penulisnya) bisa berteman tanpa mengungkit biang konfliknya kepada satu sama lain.
Ada ucapan daoistik yang berbunyi:
"Yang benar tidak benar-benar benar, apa yang tampak demikian tidak benar-benar demikian
Nah, walaupun
Yang benar benar-benar benar, apa bedanya dengan yang salah tidak bisa kita selesaikan dengan argumen sederhana,
dan, walaupun
Apa yang tampak demikian benar-benar demikian, apa bedanya dengan yang bukan demikian juga tidak bisa kita selesaikan dengan argumen sederhana."
Jadi buat apa saling beragumen satu sama lain? Buang-buang energi saja.
Dari sejarah, kita bisa melihat contoh seseorang yang nrimo ini, dalam artian kebenaran yang dia temukan dan yakini hanya dia simpan untuk dirinya sendiri sampai akhir hidupnya.
Jika Anda bukan anggota masyarakat bumi datar, Anda tentu meyakini atau setidaknya tidak membantah bahwa bumi itu bulat seperti bola. Penemu bulatnya bumi itu adalah Galileo, namun dia hidup di zaman yang tidak bisa menerima trend yang dia bawa.
Â
Galileo pada dasarnya begitu benar sehingga dia menawarkan interpretasi yang benar tentang bumi dan tata surya, yang diterima bahkan hingga saat ini. Namun, Galileo memilih untuk mundur dan diam setelah menemukan gagasan-gagasan cemerlangnya itu, padahal tidak ada orang yang mampu berdebat dengan dia secara saintifik pada masa hidupnya.
Jika sikap nrimo ini bisa kita lakoni, maka saya yakin bahwa suasana menulis pun akan sangat kondusif. Saya sendiri sekarang sedang fokus menyelesaikan e-library saya yang kedua di Kompasiana, Fisika untuk Hiburan, setelah sebelumnya menyelesaikan Tabel Periodik Unsur Kimia.
Saya bisa dengan cepat mengerjakan artikel-artikel ini karena bahan-bahannya tersedia dalam diary saya, yang tinggal saya rapikan di sana sini lalu diformat menjadi artikel. Hal-hal lain tidak terlalu saya pikirkan.
Saya sudahi artikel ini dengan peribahasa kampung saya, Tanjungbalai Asahan:
Lain yang bengkak, lain yang bernanah.
Lain yang ditetak, lain yang patah.
Wahai rekanda Kompasianer, akur-akurlah kita.
Jonggol, 13 Agustus 2021
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H