Ketika Perelman (penulis buku yang bahannya saya gunakan untuk menulis artikel-artikel saya termasuk artikel ini) masih seorang siswa sekolah, dia pernah berdebat dengan seorang astronom yang tidak setuju dengan solusi yang dia tawarkan, yaitu bahwa jika kita bergerak dengan kecepatan bunyi, maka kita akan mendengar nada yang sama sepanjang waktu.
Berikut adalah alur penalaran yang digunakan oleh si astronom. Karena Perelman tidak menyebutkan instrumen musik yang digunakan, maka saya mencontohkannya dengan harmonika.
"Misalkan kamu menghasilkan nada do dengan meniup lubang ke-4 dari sebuah harmonika diatonik (lihat artikel saya: Tutorial Harmonika dengan Metode Simak Johan Japardi), nada do yang sama akan dihasilkan setiap kali kamu meniup lubang ke-4 itu.
Sekumpulan pengamat di ruang angkasa akan mendengarnya secara berurutan, dan mari kita anggap, dengan sama nyaringnya. Lalu, sesuai dengan yang kamu bayangkan, kamu sendiri tidak mendengar bunyi nada yang berurutan menurut waktu tiup yang berbeda karena kamu kita mampu bergerak dengan kecepatan bunyi ke sisi salah seorang pengamat di ruang angkasa.
Kenyataannya, kamu akan mendengar bunyi nada itu sama seperti yang didengar oleh para pengamat.
Perbandingannya adalah bahwa seorang pengamat yang bergerak menjauh dari kilat dengan kecepatan cahaya akan selalu melihat kilat itu.
Bayangkan sederet mata yang tak ada habisnya di ruang angkasa. Setiap mata yang berurutan akan melihat kilatan cahaya secara berurutan.
Bayangkan kamu mengunjungi setiap mata secara berurutan, jelas kamu akan melihat kilatan cahaya sepanjang waktu."
Kesimpulan: YANG KELIRU ADALAH SI ASTRONOM ITU. Tak perlu dikatakan bahwa tidak ada pernyataan si astronom yang benar.
Dalam kondisi yang diberikan di atas, kita tidak akan mendengar nada maupun melihat kilat.
Catatan:
Kita lihat rumus panjang gelombang berikut:
Panjang gelombang dilambangkan dengan huruf Yunani lambda (), yang sama dengan kecepatan gelombang nu () dalam medium dibagi dengan frekuensinya (f).