Mohon tunggu...
Johan Japardi
Johan Japardi Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Lulus S1 Farmasi FMIPA USU 1994, Apoteker USU 1995, sudah menerbitkan 3 buku terjemahan (semuanya via Gramedia): Power of Positive Doing, Road to a Happier Marriage, dan Mitos dan Legenda China.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perfilman Indonesia di Masa Penjajahan Jepang

21 Juli 2021   16:06 Diperbarui: 21 Juli 2021   16:19 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nihon Eiga Broadcasting Corp. Sumber: https://commons.wikimedia.org/

Perusahaan Penyiaran Film Jepang atau  日本映画 (映画会社)  Nihon Eiga (Eiga Kaisha): Perfilman Jepang (Perusahaan Film)

日本映画株式会社 Nihon Eiga Kabushikigaisha (PT Perfilman Jepang/Nihon Eiga Co., Ltd.) yang didirikan pada 1933 dan bangkrut pada 1934 adalah sebuah perusahaan film di Tokyo yang pernah ada.

Sebuah studio dibangun di Chofu dengan Perusahaan Film Tokatsu sebagai perusahaan induk, tetapi perusahaan itu sendiri berumur pendek.

Meskipun kadang-kadang disebut sebagai Perusahaan Film Jepang, ini adalah perusahaan yang sepenuhnya terpisah dari  日本映画社
Nihon Eigasha atau Nippon Eigasha (Perusahaan Film Jepang) yang memproduksi film berita.

Pada 1934, perusahaan Tokatsu bangkrut, dan studio yang dibangun diakuisisi oleh Nikkatsu dan menjadi "Studio Film Nikkatsu Tamagawa."

Pada 1939, 日本映画社 Nippon Eigasha (Perusahaan Film Jepang) didirikan atas kebijakan nasional setelah berlakunya Undang-Undang Film.

Masa pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942 disertai dengan pengambilalihan seluruh kekayaan yang berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda oleh pihak Jepang, salah satunya adalah Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat/ANIF (Sindikat Film Umum Hindia Belanda), yang didirikan oleh Alfred Balink, yang memproduksi film berita pertama pada 22 Desember 1936, yang menampilkan Pasar Gambir, kemeriahan di Istana Gubernur Jenderal, dan pelantikan Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, lihat artikel saya: Albert Balink, Perintis Perfilman Indonesia Sejak 1934.

Di bawah pengawasan Sendenbu,* Nippon Eigasha atau Nippon Ii Eigasha di Indonesia didirikan pada April 1943 oleh pemerintah pendudukan Jepang di Jakarta, dengan pemimpin T. Ishimoto dan wakil Raden Mas Soetarto yang sudah berpengalaman di bidang film, yang juga merangkap sebagai Ketua Karyawan Indonesia dan juru kamera.

*宣伝部 Sendenbu (Departemen Propaganda) adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Kekaisaran Jepang dibawah struktur Departemen Propaganda Kekaisaran Jepang atau Ganseikanbu. Sendenbu adalah badan propaganda yang ditugaskan khusus di Pulau Jawa oleh Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II, badan ini berdiri pada Agustus 1942.

Film yang diproduksi oleh Nippon Eigasha pada umumnya bertujuan sebagai alat propaganda politik Jepang sebagai pemersatu Asia.

RM Soetarto. Sumber: Majalah Poestaka Timoer, 15 Desember 1939.
RM Soetarto. Sumber: Majalah Poestaka Timoer, 15 Desember 1939.

RM Soetarto, fotografer Indonesia yang diakui oleh dunia Internasional. Dalam seni fotografi kepada dunia Internasional, bangsa Indonesia membuktikan dengan kecakapan RM Soetarto. "Baby lacht" membawa Soetarto ke dunia Internasional.

Masa muda Raden Mas Sutarto akrab dengan kamera. Dia bukan hanya dikenal sebagai juru foto yang sekadar memotret, tetapi juga mahir memegang kamera untuk produksi film.

Laki-laki berdarah priyayi Kesunanan Surakarta ini mengabdi di Departemen Penerangan Perjuangan Republik Indonesia sampai dengan 1965.

Menurut Rosihan Anwar, dalam In Memoriam: Mengenang Yang Wafat (2002), Soetarto  meliput Rapat Raksasa IKADA 19 September 1945. Soetarto juga yang mengusulkan agar tanggal 19 September dijadikan sebagai Hari Film Nasional.

Pada 1963, menurut Mimbar Penerangan, salah satu jabatan yang diemban Sutarto adalah Pembantu Menteri Penerangan Urusan Audio-Visuil. Kala itu Menteri Penerangan dijabat oleh Roeslan Abdulgani. Sebagai asisten Menteri Penerangan, nama Sutarto disebut dalam telegram diplomatik Duta Besar Amerika untuk Indonesia Marshall Green kepada Sekretaris Negara Amerika di Washington pada 18 Oktober 1965.  

Berita Film Indonesia (BFI) pimpinan Soetarto adalah satu-satunya kantor berita "kiblik" yang membuat film dokumenter semasa perang kemerdekaan. Sebuah perjuangan yang penuh kekerasan dan tipu daya.

Karya film BFI, yang kini hanya tersisa duplikatnya di negara lain, merupakan sebuah perenungan tentang hakikat manusia merdeka.

Kepustakaan:
1. Kemerdekaan di Ujung Hidup Mati, Majalah Tempo Edisi 11-17 November 2015.
2. Perkembangan dan Pasang Surut Film Indonesia.
3. Nippon Eigasha (Perusahaan Film Jepang).
4. Nihon Eiga Kabushikigaisha (PT Perfilman Jepang).

Jonggol, 21 Juli 2021

Johan Japardi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun