Wah, akhirnya, selain Topik Pilihan Ini Lho Buku Kesayanganku Saat Masih Anak-anak, Dijodohkan, Gengsi Atau Butuh?, Lingkungan Kerja Toksik, Dari Rasa Jadi Karya, Â Pendidikan Pancasila, Cara Melakukan Pekerjaan Rumah Tangga, dan kini hadir juga: Yuk Belajar Peribahasa.Â
Salut buat kepiawaian dan kejelian jajaran editor Kompasiana dalam menentukan Topik Pilihan. Kejelian ini terlihat oleh saya dalam penentuan judul Topik Pilihan Yuk Belajar Peribahasa yang tidak dibatasi hanya dalam bahasa Indonesia, yang saya yakin atas dasar berpikir seperti yang saya ulas di bawah.
Saya, yang dilahirkan di sebuah kota kecil, Tanjungbalai Asahan, sebuah  daerah pesisir Melayu, sudah sejak kecil akrab dengan peribahasa. Dengan belajar semakin banyak bahasa, baik bahasa asing maupun daerah, saya juga mempelajari peribahasa dalam berbagai bahasa, yang tampak dalam banyak artikel saya sebelumnya. Kali ini saya tidak mencantumkan tautan ke artikel-artikel saya yang lain, yang berisi peribahasa-peribahasa itu.
Keyakinan saya adalah bahwa peribahasa masing-masing suku atau bangsa di dunia merupakan kristalisasi dari kearifan mereka masing-masing, namun berisi kebenaran universal yang bisa diambil dan diaplikasikan oleh suku atau bangsa apa saja.
Aplikasi Peribahasa dalam Pembelajaran
Rajin pangkal sukses, yang saya perluas dari: Rajin pangkal pandai.
(Rajin pangkal pandai, kalau sudah pandai harus tetap rajin agar sukses).
Supaya pandai, rajinlah dalam belajar, bukan yang lain, yang dalam pepatah Karo:
Kalak lawes ku bulan, kita lawes erlajar. (Biar orang lain sudah bisa pergi ke bulan, mari kita pergi belajar).
Dan ucapan arif dari orangtua kita, Wak Uteh Tanjungbalai Asahan:
Jangan kito asyik batimang, karojo kito tidak manjadi. (Jangan kita hanya berleha-leha, pekerjaan kita tidak selesai).
Kearifan semua peribahasa ini bisa dirangkum ke dalam sebuah kata sekaligus akronim Jawa: ngelmu, angel sadhurunge ketemu (Hakekat menuntut ilmu: susah didapat sebelum dapat, kalu sudah dapat, tuntut lagi ilmu yang lain).
Ini sejalan dengan peribahasa dalam cersil: Dalam dunia persilatan, yang paling ditakuti bukan 10.000 jurus yang masing-masing dilatih 1 kali, tapi 1 jurus yang dilatih 10.000 kali.
Pentingnya buku dan media cetak lainnya sebagai sumber pembelajaran bisa saya ambil dari ucapan seorang teman saya yang mengandung kearifan ala peribahasa: Kalau kau menjumpai sebuah majalah bekas di jalan, kutiplah.
Belajar bisa dilakukan dengan membaca dari buku-buku, tetapi juga dari buku terbesar yang ada: alam. Demikianlah kata peribasa Minang: Alam takambang jadi guru, yang ketika saya ajarkan kepada seorang mahasiswi tingkat III Universitas Harvard yang molek dan pintar, sempat saya terjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan agak dipermanis, menjadi: Nature unfolds, and lo and behold! It's now a teacher, yang jika diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia menjadi: Alam terkembang, dan lihatlah! Sekarang dia menjadi guru.
Hitung-hitung sesekali kita bukan hanya belajar dari orang-orang di dunia Barat, tapi juga mengajari mereka kearifan Indonesia.
Dalam artikel-artikel saya sebelumnya, saya menyajikan contoh belajar dari alam ini antara lain: bagaimana para petani zaman dulu belajar bercocok tanam, dan bagaimana belajar dari kelender hari bulan untuk memahami tentang pasang dan surut.
Saya nukil lagi ucapan almarhum kakek saya yang berisi peribahasa China: Â
Di dunia ini tidak ada orang yang bodoh, yang ada adalah orang yang belum tahu. Jika bagian atas sebuah parang kita asah, maka parang itu bisa berubah menjadi sebuah pedang. Jadi teruslah belajar supaya semakin tahu.
Dan tambahan dari saya: Itu pun dalam batasan bahwa setelah belajar, ada yang kita tahu dan selebihnya (harus kita akui) kita belum tahu, keluasan pengetahuan sesuai ucapan Zhuangzi: Walau diberi umur 300 tahun, tak mungkin saya mempelajari apa yang bisa saya pelajari, konon lagi semua yang ingin saya pelajari.
Belajar dari alam juga bisa dilakukan dengan menempuh perjalanan ke tempat-tempat yang belum pernah kita datangi. Ini tertuang dalam peribahasa dengan makna yang sama, yang digunakan orang Indonesia dan Denmark:
Jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasa.
Den de rejser meget vet meget (Orang yang sering bepergian tahu banyak).
Untuk bisa tetap rajin dan patah semangat, kita dibekali oleh sebuah peribahasa untuk meneguhkan tekad dalam mencari solusi: Di mana ada kemauan, di situ ada jalan.
Jadi, teruslah berlatih dengan segala keterbatasan maupun kebercukupan yang ada, karena:
Ala bisa karena biasa.
Tak lupa saya mengikutsertakan sebuah ucapan guru olahraga SMP saya: Yang lurus banyak gunanya, yang bengkok banyak gunanya.
Teruslah belajar, sampai akhirnya: Door duisternis tot Licht (Habis gelap terbitlah terang).
Jonggol, 9 Juni 2021.
Johan Japardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H